Selasa, 28 April 2009

Mari Kita Amalkan

1. Dari Ibnu Mas'ud RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Hendaklah kalian selalu melakukan kebenaran, karena kebenaran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunut ke surga. Jika seseorang selalu berbuat benar dan bersungguh dengan kebenaran, ia akan ditulis di sisi Allah swt sebagai orang yang sangat benar. Jauhkanlah dirimu dari bohong, karena bohong akan menuntun kepada kedurhakaan, dan durhaka itu menuntun ke neraka. Jika seseorang selalu bohong dan bersugguh-sungguh dengan kebohongan, ia akan ditulis di sisi Allah swt sebagai orang yang sangat pembohong.'' Hadis muttafaqun'alaih.

2. Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan yang paling bohong.'' Hadis Muttafqun'alaih.

3. Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali silaturahim.'' Hadis riwayat Bukhari.

4. Dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda, ''Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba (dikatakan) beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.'' Hadis Muttafaqun'alaih.

5. Ibnu Mas'ud RA berkata, ''Aku bertanya kepada Rasulullah saw, dosa apakah yang paling besar? Beliau bersabda, ''Engkau membuat sekutu bagi Allah, padahal Dia lah yang menciptakanmu.'' Aku bertanya lagi, ''Kemudian apa? Beliau bersabda, ''Engkau membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu.'' Aku bertanya lagi, ''Kemudian apa? Beliau bersabda,''Engkau berzina dengan istri tetanggamu.'' Hadis Muttafaqun'alaih.

6. Dari Abi Ayyub RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seorang berpaling dan lainnya juga berpaling. Yang paling baik di antara keduanya ialah memulai mengucapkan salam.'' Hadis muttafaqun'alaih.

7. Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah SWT akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; barangsiapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah SWT akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat; dan barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, Allah SWT akan menutupi (aibnya) di dunia dan akhirat; dan Allah SWT akan menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.'' Hadis riwayat Muslim. disarikan dari Tarjamah Hadis Bulughul Maram Terbitan Gema Risalah Press Bandung



Jumat, 03 April 2009

Pahala yang Mengalir

Hidup di dunia ini singkat, bahkan sangat singkat jika dibandingkan dengan di akhirat. Walaupun ada orang yang merasa selalu belum puas, dan ingin terus memuas-muaskan diri karena merasa punya fasilitas, ingin hidup lebih lama lagi. Sebaliknya ada orang sakit, menderita, dia merasa deritanya kok nggak habis-habis. Padahal yakinlah bahwa kesenangan dan penderitaan apapun di dunia ini bakal berakhir. Yang harus dipikirkan adalah setelah manusia mati, akankah dia mendapatkan kesenangan atau penderitaan ? Semua ditentukan di dunia yang singkat ini.

Di sisi yang lain, kenikmatan di akhirat yang berujud jannah atau surga yang ketika seorang telah memasukinya akan bahagia selamanya adalah sesuatu yang amat mahal. Hanya orang-orang yang dikasihi Allah-lah yang bisa memasuki surga. Untuk bisa dikasihi Allah seseorang harus mau dan sanggup tunduk dan taat kepada-Nya, walaupun harus menyerahkan apapun yang dimiliki kepada Allah. Allah SWT membuat permisalan surga-Nya sebagai alat pembayar atas setiap yang dimiliki seorang hamba yang dipersembahkan kepada Allah. Didalam QS. At Taubah (9) ayat 111 Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan surga."
Rasulullah Saw juga telah memberikan kiat-kiat untuk meraih surga yang mahal dengan hidup kita yang singkat ini, yakni dengan menjadikan di antara amal-amal menjadi aset yang tak pernah berhenti menyetorkan pahala kepada kita. Di dalam hadits yg Shahih Rasulullah bersabda :"Ketika seorang anak Adam mati, terputuslah semua amalnya kecuali 3 perkara, yakni (1) Shodaqoh jariyah, (2) Ilmu kebaikan yang bermanfaat dan (3) Anak yang shalih yang senantiasa berdo'a untuknya.
Dengan demikian, mestinya kita memusatkan perhatian kepada ketiga hal tersebut di samping kewajiban-kewajiban kita ketika masih hidup, bagaimana membelanjakan harta untuk manfaat Islam dan muslimin, menuntut ilmu syar'i untuk diamalkan dan diajarkan dan ilmu yang bisa bermanfaat lainnya, serta mendidik anak-anak kita dengan benar sesuai dienul Islam. Selagi aset kita masih dimanfaatkan dan diamalkan, insya Allah kita masih mendapat aliran pahala yang akan mendatangkah rahmat Allah untuk menebus surga yang mahal dan tinggi.

Istiqomah Saat Senang dan Susah

Manusia dikaruniai oleh Allah sesuatu yang sangat berharga yang membedakan dirinya dengan makhluk lain, yakni akal pikiran. Dengannya manusia mampu mengembangkan potensi dirinya dalam meningkatkan kualitas kehidupannya. Akan tetapi yang paling berhak untuk menentukan apakah kehidupan seseorang itu berkualitas, bermakna serta bermanfaat adalah Allah SWT. Dalam hal kemampuan manusia untuk menggunakan akal pikirannya tersebut, Allah SWT pun memberi suatu gelar yang amat agung yang kelak akan menempati kemuliaan di akhirat, yakni Ulul Albab.

Ulul Albab, suatu gelar nan agung dari Allah, Zat yang menciptakan dan menguasai alam semesta beserta isinya. Tidak ada suatu gelar pun di dunia ini yang dibikin oleh manusia yang lebih menjamin akan kemuliaan penyandangnya selain Ulul Albab. Sementara banyak dari kalangan kita, baik itu secara individu maupun kelompok yang merasa serta mengklaim sebagai generasi ulul albab. Terutama kita yang di kalangan akademik atau kampus yang merasa bahwa kitalah yang paling cerdas, yang mampu menggunakan akal, yang merasa mampu membuat terobosan-terobosan dalam agama ini. Dengan prestasi-prestasi, IPK tinggi, kegiatan lomba, ide-ide maupun slogan-slogan kita merasa bahwa kitalah ulul albab.
Namun tentu saja Allah-lah yang paling berhak menentukan kriteria-kriteria tersebut. Sebelum kita mengklaim diri kita sebagai Ulul Albab, kita hendaknya bercermin dengan beberapa ayat Allah tentang kriteria ataupun sifat seorang ulul albab dengan prasyarat kita harus yakin dengan Al Qur’an. Bagi yang tidak yakin dengan kebenaran Al-Qur’an, maka dia di luar konteks pembicaraan ini.

Paham akan Kehendak Allah, Susah maupun Senang
Seorang yang mendapat gelar Ulul Albab dari Allah di antaranya adalah orang yang mampu meluruskan setiap amal dan ibadahnya hanya kepada Allah dalam setiap keadaannya, yakni dikarenakan dia khawatir dengan nasibnya di akhirat dan mengharapkan rahmat Allah. Hal ini dia lakukan karena kepahamannya akan ilmu. Firman Allah dalam Surat Az-Zumar (39) ayat 9 :
“Ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri karena dia takut dengan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah : “Adakah sama orang-orang yang mengeahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah (ulul albab) yang dapat mengambil pelajaran.”

Sementara itu, sebagian orang ada juga yang beribadah, berdoa dengan khusyuk, merendah kepada Allah karena dia sedang mengalami kesulitan ataupun sangat mengharapkan sesuatu. Namun ketika Allah memenuhi permohonannya, dia menjadi lupa bahwa dulu dia meminta-minta kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat sebelumnya pada Surat Az-Zumar :
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; Kemudian Apabila Allah memberikan ni’mat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang dia pernah berdoa sebelum itu, dan dia mengada-adakan bagi Allah bandingan-bandingan untuk menyesatkan dari jalan-Nya. Katakanlah :”Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sebentar saja; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.”(QS. Az-Zumar (39): 8)

Dari kedua ayat di atas terlihat bahwa kedua macam orang tersebut sama-sama beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, namun yang membedakan adalah kepahaman akan tujuan dari penghambaan diri kepada Allah SWT.
Golongan pertama merasa butuh kepada Allah ketika dia mengalami kesulitan maupun keinginan-keinginan. Ketika Allah memberikan ni’mat-Nya, dia lupa. Dalam suasana yang dia sukai, dia melupakan doa dan permohonan yang sungguh-sungguh itu. Sebagaimana firman-Nya :”Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling.” (QS. Al-Isro’ (17): 67).
Bahkan dia membuat bandingan-bandingan (sekutu) bagi Allah, bahwa berkat dirinyalah dia bisa memperoleh apa yang dia inginkan.
Saudaraku, betapa banyak dari kita yang merasa bahwa keberhasilan kita dalam studi, mendapat sekolah favorit, lulus menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan, gaji tinggi, dan sebagainya adalah berkat jerih payah kita, kecerdasan kita, kiat-kiat kita semata yang semuanya itu merupakan bandingan (sekutu) bagi Allah. Sementara kita menjadi lupa bahwa Allah yang memberi itu semua. Semuanya itu pada akhirnya membuat kita merasa takabbur dengan diri kita. Padahal dulu ketika kita masih susah, belum dapat sekolah, belum lulus-lulus, masih nganggur kita rajin berdoa dan berharap kepada Allah. Saudaraku, inikah yang dinamakan generasi Ulul Albab? Subhanallah, ketahuilah bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah dengan kesombongannya, mereka tidak lama meni’mati kekufurannya, seperti firman-Nya :”Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. Luqman : 24).
Lantas, apakah sama antara orang-orang yang membuat bagi Allah bandingan serta saingan dengan orang-orang yang taat, tunduk kepada Allah lantaran khawatir akan nasibnya di akhirat dan mengarap rahmat-Nya? Tentu saja tidak sama. Orang-orang yang bisa menyikapi penderitaan dan kesenangan yang dialami, yakni dikembalikan kepada Allah, itulah yang bisa mengambil pelajaran.

Mujahadah untuk Ngaji

Al ‘ilmu yu’ta wa laa ya’ti (Ilmu itu didatangi, tidak mendatangi), demikian perkataan dari Imam Malik Rahimahullah. Ini merupakan bagian dari adab terhadap ilmu yang penting. Sehingga seorang yang menginginkan ilmu disebut murid, yang berarti seseorang yang menginginkan (ilmu). Sebutan lainnya yang lebih mantab adalah tholabul ilmi, yang berarti seorang yang menuntut, mencari, bagaimana caranya bias mendapat ilmu. Maka sudah semestinya bagi seorang yang menginginan ilmu dia menjalani tertib ini, agar supaya ilmu/pengetahuan yang didengar, dilihat dan dicatat bisa lebih berkesan dan kokoh pada dirinya.
Tertib inilah yang telah dijalani para pendahulu kita yang shalih (salafush shalih) dalam menuntut ilmu. Bagaimana seorang shahabat, yakni Jabir bin Abdullah r.a. yang membutuhkan waktu 1 bulan perjalanan untuk menemui Abdullah bin Unais demi mendapatkan 1 buah hadits, hanya untuk itu saja. Habis itu beliau pulang. Bahkan seorang ulama yang bernama Al-Khatib Al-Baghdadi telah menulis kitab yang berisi kisah perjalanan para ulama dalam mencari hadits, yakni kitab Rihlahul Ulama lil Hadits.

Padahal kalo kita berpikir, situasi dan kondisi pada zaman dahulu dengan sekarang sangat jauh berbeda, baik dalam hal medan, fasilitas, keamanan, fisik dll. Zaman dahulu medan sangat berat, naik turun gunung, berbatu-batu, padang pasir, panas, hujan, jarak puluhan bahkan ratusan kilometer. Kendaraan yang ada hanya onta, kuda bahkan jalan kaki. Keamanan di perjalanan sangat tidak terjamin, dari binatang buas maupun manusia buas. Mengapa mereka para ulama terdahulu bisa dan mau menempuh semua hal itu ?

Sedangkan kita pada hari ini sangat berbeda, fasilitas banyak dan mudah, kendaraan tersedia ber-AC pula, ada komputer, laptop, berbagai software, multimedia, orang 'alim (ulama) juga banyak, majelis ta'lim dimana-mana dengan berbagai menunya, dan berbagai kemudahan lainnya. Akan tetapi kenapa dengan banyaknya kemudahan dari Allah ini kebanyakan kita dan kaum muslimin justru tidak banyak mengambil manfaat sehingga kaum muslimin menjadi semakin melek dengan agamanya, semakin kuat hasrat untuk mengamalkan dan membelanya. Kenapa ?
Jawabnya adalah kurangnya kesungguhan untuk berkorban, ngrekoso - walaupun cuma sedikit dan sangat jauh jika dibandingkan ulama terdahulu - yang kita kerahkan. Hari ini kita mudah-mudah untuk absen dari datang ngaji, entah dengan alasan capek, sibuk, hujan. Padahal ustadznya juga harus berjalan dari rumahnya, meluangkan waktunya, istirahatnya. Kebanyakan majelis ta'lim/ngaji saat ini tidak dilaksanakan di rumahnya ustadz, sehingga kedua-duanya, baik ustadz maupun murid harus pergi dari rumahnya, meninggalkan keluarganya, menerobos panasnya matahari dan dinginnya malam. Kenapa kita tidak ingat kaidah berilmu yang disampaikan Imam Malik di atas ? Subhanallah.
Memang, kecintaan seseorang akan sesuatu selalu seiring dengan tingkat pengorbanannya. Semakin dia menjalani kepayahan, capek, ngantuk, keluar uang, tinggalkan sementara orang yang dicintai untuk meraih sesuatu, maka dia akan semakin cinta dengannya, semakin bersikap mementing-mentingkan. Dia merasa kecewa jika melewatkannya, tidak bertemu dengannya. Demikian pula halnya dengan kecintaan terhadap ilmu dan majelis ilmu. Kalo orang dikit-dikit ijin, pamit, atau bahkan tidak pamit kepada mu'alimnya, yaa ilmu dan majelis ilmu sebatas samben saja, jika sempat yang datang, jika nggak ya gak masalah. Toh masih ada kesempatan pekan depan, katanya. Padahal umur seseorang hanya Allah yang tahu, dan kesempatan tidak akan berulang.
Semoga Allah beri kekuatan pada kita, agar menjadi orang yang punya kekuatan hati, tekad, kesabaran sehingga mampu menggerakkan badan ini untuk menuntut ilmu, beramal, dan berdakwah. Amiin.