Jumat, 23 Oktober 2009

Islam itu Mudah


Allah Azza wa Jalla telah berfirman yang "Artinya : “Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah. [QS. Thaahaa: 2-4]. Memang Islam datang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia sehingga hidup menjadi benar, baik dan penuh manfaat. Sebagai jalan hidup, Islam adalah agama yang mudah dijalani, sebagaimana sabda Nabi : “Addiinu yusrun” (Dien Al Islam itu mudah). Sebagai contoh tentang beberapa kemudahan Islam antara lain :

1. Menuntut ilmu syar’i, mengaji belajar Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah mudah. Kita dapat belajar menurut kemampuan kita, setiap hari atau sepekan dua kali, di sela-sela waktu kita yang sangat luang.

2. Mentauhidkan Allah dan beribadah hanya kepada-Nya adalah mudah dan murah. Tidak perlu syarat, perantara, sesaji yang macam-macam seperti yang dilakukan pada setiap acara kesyirikan dan bid’ah.

3. Melaksanakan Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mudah, seperti memanjangkan jenggot, memakai pakaian di atas mata kaki, dan lainnya. Sebaliknya melakukan bid’ah adalah sulit, repot, harus mengerjakan macam-macam yang tidak ada tuntunannya dari syariat. Sudah repot, keluar uang, amalnya tidak diterima oleh Allah, bahkan mendapat dosa.

4. Shalat hanya diwajibkan 5 waktu dalam 24 jam. Orang yang khusyu’ dalam shalatnya, paling lama 15 menit, berarti dalam sehari dia hanya menggunakan waktu 75 menit untuk sholat dari total waktu 24 x 60 menit. Masih banyak waktu tersisa untuk pekerjaan yang lain.

5. Orang sakit boleh sholat sambil duduk atau berbaring jika tidak mampu berdiri, bahkan dengan isyarat jika memang mampunya hanya itu.

6. Jika tidak ada air (untuk bersuci), maka dibolehkan tayammum dengan tanah atau debu yang menempel di dinding, meja, kursi dll.

7. Jika terkena najis, hanya diwajibkan mencuci bagian yang terkena najis saja, (agama lain harus menggunting pakaian tersebut dan dibuang).

8. bagi musafir disunnahkan mengqashar (meringkas) shalat dan boleh menjama’ (menggabung) dua shalat apabila dibutuhkan, seperti shalat Zhuhur dengan ‘Ashar, dan Maghrib dengan ‘Isya'.

9. Seluruh permukaan bumi ini bisa dijadikan untuk tempat shalat dan boleh dipakai untuk bersuci (tayammum).

10. Puasa hanya wajib selama satu bulan, yaitu pada bulan Ramadlan setahun sekali. Itu pun malamnya kita berbuka, boleh makan, minum, kumpul suami istri. Tidak seperti puasanya umat terdahulu (puasa wishol), juga puasanya orang syirik (puasa ngebleng), sudah lapar, lemes, dapat dosa.

11. Orang sakit dan musafir boleh tidak berpuasa asal ia mengganti puasa pada hari yang lain, demikian juga orang yang nifas dan haidh.

12. Orang yang sudah tua renta, perempuan hamil dan menyusui apabila tidak mampu boleh tidak berpuasa, dengan menggantinya dalam bentuk fidyah.

13. Zakat hanya wajib dikeluarkan sekali setahun, itu pun bila sudah sampai nishab (batasan minimal harta yang kena zakat) dan haul (telah dimiliki selama 1 tahun).

14. Haji hanya wajib sekali seumur hidup. Barangsiapa yang ingin menambah, maka itu hanyalah sunnah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya oleh al-Aqra’ bin Habis tentang berapa kali haji harus ditunaikan, apakah harus setiap tahun ataukah hanya cukup sekali seumur hidup? Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.

"Artinya : “Haji itu (wajibnya) satu kali, barangsiapa yang ingin menambah, maka itu sunnah”

15. Memakai jilbab sesuai dengan syari’at Islam itu mudah dan tidak berat bagi muslimah,, apalagi di zaman sekarang, tidak ada lagi ancaman-ancaman.


Itulah beberapa bukti bahwa melaksanakan Islam secara benar itu mudah dan murah, sesuai kemampuan kita. Karena Allah SWT sebagai pembuat syariat tidak membebani seorang hamba kecuali menurut kemampuannya. Semoga hati kita diberi taufiq oleh Allah Ta’ala, sehingga dengan merasa ringan dan mudah, kita bisa menjalani Islam dengan sebaik-baiknya.



Jumat, 16 Oktober 2009

Ikatan

Ketika mengeringkan sebuah papan kayu, seringkali kita mendapati kayu tersebut menjadi menyusut, melengkung, kadang-kadang pecah, muntir dan sebagainya. Hal ini terjadi akibat dari perilaku air yang berada di dalam kayu. Keberadaan air di dalam kayu ada 2 macam kondisi, yakni sebagai air bebas dan air terikat. Disebut air bebas karena air ini berada di ruang yang bebas yang tidak terikat dengan bagian zat kayu, yakni di dalam rongga sel kayu. Sedangkan air terikat terdapat secara menyatu di dalam dinding sel kayu yang saling berikatan.
Saat mengeringkan kayu dari keadaan basah, air yang keluar terlebih dahulu dari kayu adalah air bebas dari rongga sel. Air ini dengan mudah bisa keluar tanpa banyak menimbulkan dampak pada papan kayu, apalagi jika kayunya termasuk kayu yang porous (ringan), banyak porinya. Hal ini terus berlangsung sampai seluruh air di dalam rongga sel keluar. Apabila proses pengeringan dilanjutkan, maka tinggal air terikat yang belum keluar. Air ini akan keluar lebih lambat dan lebih sulit daripada air bebas. Pengeluaran air terikat inilah yang akan menimbulkan beberapa dampak kerusakan pada kayu, seperti penyusutan, melengkung, pecah, muntir dll sebagai konsekuensi bahwa kayu merupakan material organik yang relative tidak stabil, mudah dipengaruhi lingkungan. Semakin kuat ikatan antar elemen air dan dinding sel kayu, maka kemungkinan kerusakan yang ditimbulkan akan semakin besar.

Dalam kehidupan sosial filosofi ini pun berlaku. Di antara manusia yang kita temui di jalan, ketemu di pasar, di terminal, banyak yang tidak kita kenal. Sering kita terlibat hubungan muamalah dengan orang lain yang tidak kita kenal, seperti dalam jual beli, ngurus surat di kantor, tanya alamat rumah dan lain-lain. Dalam hubungan itu kita tidak ada hubungan emosional dengan orang-orang tersebut. Ketika akad sudah disepakati ya sudah, terus berpisah. Tidak ada perasaan yang mengganjal, tidak enak, maupun sedih tatkala kita selesai dengan urusan-urusan tersebut. Bahkan seringkali hati kita merasa senang, lega dan plong ketika berpisah dengan orang-orang tersebut. Hal ini karena memang kita tidak memiliki hubungan ikatan ”emosional” dengan mereka.
Di sisi yang lain kita memiliki hubungan dengan teman, tetangga, mitra kerja, istri, anak, orang tua, keluarga besar, bahkan dengan Allah, Tuhan sesembahan kita. Masing-masing pihak tersebut memiliki tingkat ikatan yang berbeda-beda dengan kita sesuai dengan tingkat kepentingan dan ketergantungan kita kepadanya. Apabila sesuatu hal mengganggu hubungan kita dengan salah satu pihak tersebut, lalu kita hanya menuruti kemauan hawa nafsu atas nama hak asasi, kebebasan berekspresi dan semacamnya, yang akhirnya kita putus hubungan dengan mereka, pasti akan muncul dampak akibat yang menyakitkan. Akibat ini pun juga akan berbeda tingkat sakit dan penderitaan yang kita rasakan, mulai dari sekedar pekewuh, malu, dikucilkan tetangga, kehilangan teman, kehilangan pekerjaan dan penghasilan, kehilangan istri, terusir dari rumah, hingga sakit penderitaan fisik bahkan penderitaan sampai di akhirat kelak selama-lamanya.
Dalam hukum positif di masyarakat, bahkan dalam agama pun kita diperintahkan untuk selalu menjalin hubungan baik dengan orang lain sesuai dengan tingkat haknya kepada kita. Kepada kedua orang tua, keluarga, tetangga, teman dan sebagainya. Allah Ta’ala berfirman :

Artinya : ” sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (QS. An-Nisaa’ : 36)


Menurut ayat di atas jelas bahwa yang harus disempurnakan nomor satu adalah ikatan kita dengan Allah Ta’ala, karena manusia sangat bergantung kepada-Nya, Allahu Ash-Shomad. Dan jika ikatan ini buruk, atau bahkan rusak karena Allah disekutukan, maka akibat buruk akan menimpa manusia selama-selamanya di akhirat. Kemudian pihak-pihak yang disebutkan selanjutnya dalam ayat di atas adalah sesuai dengan urutan prioritas penunaian hak, sesuai dengan tingkat ikatan kita kepada mereka yang dimulai dari kedua orang tua dan seterusnya.
Sebaliknya kita diperingatkan dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak hubungan kita dengan orang lain, terutama dengan sesama muslim. Dalam sebuah hadits disebutkan :
وعن أنسٍ رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تباغضوا، ولا تحاسدوا، ولا تدابروا، ولا تقاطعوا، وكونوا عباد الله إخواناً، …متفقٌ عليه.
Artinya : Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi Shalallahu ’alaihi wa salam bersabda : janganlah kalian saling marah, dan janganlah saling hasad, dan jangan saling membelakangi (jothakan = jawa), dan jangan saling memutus hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara (karena iman).... HR. Bukhari-Muslim

Nah, karena itu mari kita senantiasa menjaga dan kita perbaiki hubungan kita kepada Allah Ta’ala, kepada orang tua, keluarga, tetangga, sahabat, dan lain-lain agar hidup kita tenang, tenteram, bahagia dan selamat fiidunya wal akhirah. Amiiin

Wallahu a’lam...


Jumat, 02 Oktober 2009

Kaya adalah Ujian

Qarun adalah seseorang yang hidup pada masa Nabi Musa Alaihissalam, yakni anak salah seorang paman Beliau. Dia termasuk orang yang diberi harta kekayaan berlimpah oleh Allah SWT, namun dia bertindak melampaui batas dengan kekayaannya tersebut. Orang-orang yang baik dari kalangan kaumnya telah memperingatkannya untuk tidak berbangga-bangga dengan hartanya karena Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri. Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy menjelaskan, dengan harta yang diberikan Allah, hendaklah dia mencari kebahagiaan akhirat dengan berbuat kebaikan dengan cara bershodaqoh dan berinfaq di jalan Allah SWT. Tetapi Qarun telah berkeyakinan akan mencapai kebahagiaan dengannya, dia tidak berbuat baik kepada orang lain dan berbuat kerusakan di muka bumi dengan tidak mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika diperingatkan oleh kaumnya, dia justru berkata :

"Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya sungguh Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya, dan lebih banyak hartanya? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. Al- Al-Qashash (28): 78)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy menjelaskan : Qarun berpendapat bahwa dia memperoleh harta karena hasil usahanya, kepintarannya atau ilmu dari Allah tentang dirinya, Dia tahu bahwa Qarun ahli dalam hal mencari harta. Maka dia pun menolak nasihat kaumnya tentang apa yang telah Allah berikan padanya. Kemudian Allah menjelaskan bahwa ketika Dia memberikan rezeki kepada seseorang (dalam hal ini Qarun), hal itu bukanlah menunjukkan atas kebaikan keadaan orang yang diberi. Allah pun memperingatkan tentang akibat yang diterima umat-umat terdahulu tatkala mereka durhaka kepada Allah, yakni mereka dibinasakan oleh Allah, padahal mereka lebih besar kekuatannya dan lebih banyak harta kekayaannya daripada Qarun. Firman Allah :
… dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.
Maksudnya adalah ketika seseorang telah demikian banyak dosanya dari kesyirikan dan kemaksiatan yang telah diperbuatnya, maka telah jelaslah siksa Allah atas dirinya. Mereka akan masuk ke dalam neraka tanpa perlu ditanya dan dihisab.
Pada suatu hari Qarun keluar kepada kaumnya dengan membawa perhiasannya berupa pakaian kebesaran yang indah dan kendaraan yang bagus. Syaikh As-Sa’diy mengatakan bahwa perhiasan yang dibawa Qarun mencakup berbagai harta dunia yang dimilikinya. Melihat itu, orang-orang yang menginginkan dunia berkata sambil berangan-angan :
“Seandainya kami memiliki harta dan perhiasan seperti apa yang diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".

Sementara itu orang-orang yang berilmu berkata : “Celakalah kalian, pahala di sisi Allah lebih baik bagi orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar (dalam iman dan taqwa)". (QS. Al- Al-Qashash (28): 80)

Syaikh As-Sa’diy mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang menahan diri dalam melakukan ketaatan, dari maksiat dan dari takdir Allah yang buruk. Mereka juga menahan diri/bersabar dari perhiasan dunia yang banyak melalaikan dari Tuhannya. Mereka itulah orang yang mengutamakan pahala Allah di atas dunia yang fana ini.
Karena kedurhakaannya, Allah pun menghukum Qarun dengan cara membenamkannya beserta rumah dan isinyanya ke dalam bumi. Maka tidak ada suatu golongan pun yang mampu menolongnya dari siksa Allah, dan dia tidaklah dia termasuk orang yang dapat membela diri. Syaikh As-Sa’diy mengatakan bahwa bentuk balasan tergantung dari jenis amalnya, maka sebagaimana Qarun telah mengangap dirinya lebih tinggi dari hamba Allah yang lain, Allah pun menurunkannya ke dalam kedudukan yang serendah-rendahnya. Tatkala melihat Qarun di adzab Allah, menjadi sadarlah orang-orang yang dahulu menginginkan kedudukan Qarun. Mereka menyadari bahwa Allahlah yang melapangkan atau menyempitkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, tidak akan pernah beruntung orang-orang yang mengingkari nikmat Allah.


Beberapa pelajaran dari kisah Qarun :
  1. Harta dan kedudukan yang tinggi akan menyebabkan kehancuran seseorang, kecuali bagi orang yang dikasihi Allah Ta’ala, tetapi amat sedikit orang yang seperti ini.
  2. Haramnya gembira dan bangga dengan harta dan kedudukan, ketika hal itu mengarah kepada kesombongan yang merendahkan orang lain.
  3. Termasuk karunia Allah kepada seseorang adalah ketika ada orang-orang yang berilmu yang mau menasihati dan menunjuki kepada kebenaran
  4. Bolehnya makan, minum dan berpakaian yang baik, punya kendaraan yang nyaman, rumah yang nyaman tanpa berlebihan dan kesombongan.
  5. Fitnah lebih cepat menimpa kepada hatinya orang-orang yang sangat condong pada kebesaran dan ketinggian dunia.
  6. Penjelasan tentang keutamaan ahli ilmu dien yang menunjuki, menghukumi dengan syariat Allah, memerintahkan yang makruf dan mencegah dari yang munkar.
  7. Orang yang melampaui batas akan dicicipkan siksa di dunia dan akan dilanjutkan diadzab di akhirat.