Semoga Allah selalu memberikan petunjuknya bagi kita semua,khususnya bagi mereka yang akan segera melangsungkan pernikahan.
Banyak di antara kita tidak paham sebenarnya bagaimana sih cara mendapatkan jodoh?? Banyak juga di antara kita hanya dengan keyakinan bahwa Lelaki shalih itu untuk wanita shalihah maka jodoh yang shalih/ah akan datang begitu saja tanpa harus berusaha mengubah diri agar benar2 menjadi shalih/ah??? Maka dalam kesempatan kali ini kami berusaha mencarikan jalan keluarnya dan sekaligus menjadi jawaban bagi kita semua yang masih kebingungan dalam masalah mendapatkan jodoh.
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Saudar/i ku sekalian yakinlah bahwa jodoh kita sudah ditakdirkan Allah SWT. Ia tidak akan kemana-mana dan akan datang jika waktunya sudah tiba. Tugas Anda hanyalah berusaha dan berdoa agar jodoh Anda segera datang (seperti yang Anda inginkan). Jangan pernah berputus asa dan harus bersabar dalam mencari jodoh yang telah ditetapkan Allah SWT.
Allah SWT mempunyai tiga pilihan dalam menjodohkan manusia satu sama lain. Pilihan pertama adalah cepat mendapatkan jodoh. Pilihan kedua, lambat mendapatkan jodoh, tapi suatu ketika pasti mendapatkannya di dunia. Pilihan ketiga adalah menunda mendapatkan jodoh sampai di akhirat kelak (di dunia kita tidak mendapatkan jodoh). Apapun pilihan jodoh yang ditentukan Allah, maka hal itu adalah hal yang terbaik untuk kita. Allah SWT berfirman : “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. 2 : 216).
Lalu upaya apa yang perlu dilakukan agar kita segera mendapatkan jodoh? Beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu :
1. MEMPERBAIKI DIRI.
Jika kita ingin mendapatkan jodoh yang sholih, maka kita harus menjadi orang yang sholihah juga. Itulah maksud Allah dalam firman-Nya : “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)” (QS. 24 : 26).
Memperbaiki diri disini pengertiannya ada dua, lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah kita perlu menjadi orang yang bersih, rapi dan menjaga bau badan. Tidak perlu berdandan yang berlebihan (tidak Islami), tapi perlu kelihatan sebagai orang yang menarik. Sebagian orang yang ingin menikah sangat berharap mendapatkan jodoh yang sholih, tapi ia sendiri orang yang salah (tidak sholih). Ini ibarat pungguk merindukan bulan.
2. TIDAK PUTUS ASA BERDOA.
Jangan pernah berputus asa untuk berdoa. Doa yang baik untuk mendapatkan jodoh adalah doa yang terdapat dalam surah Al Furqon ayat 74 : “Ya Rob kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
Agar doa lebih terkabul, perhatikan juga adab-adab berdoa dalam Islam. Jadi jangan berdoa menurut versi kita sendiri. Berdoalah menurut apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, niscaya doa kita akan lebih terkabul.
3. IBADAH SUNNAH DIPERBANYAK.
Agar jodoh kita semakin cepat datang, kita juga perlu mendekati Allah dengan ekstra dekat. Caranya tidak hanya mengandalkan ibadah wajib, tapi juga dengan menambah ibadah-ibadah sunnah (nawafil), seperti sholat tahajjud, sholat dhuha, shaum, tilawah Al Qur’an, infaq, dan lain-lain. Lakukan ibadah sunnah ini secara rutin setiap hari agar iman kita bertambah dan do’a kita semakin dikabulkan Allah SWT.
4. MEMILIKI KRITERIA YANG TIDAK MULUK.
Mengapa jodoh sulit datang kepada kita? Salah satunya mungkin disebabkan karena kriteria jodoh kita terlalu muluk. Kita ingin jodoh yang mapan, ganteng/cantik, berpangkat, keturunan baik-baik dan beriman. Keinginan semacam itu sah-sah saja, tapi jika hal tersebut dijadikan syarat untuk jodoh kita maka kita telah mempersulit diri sendiri. Itulah sebabnya Rasulullah mengatakan jika kita tidak dapat memperoleh semuanya, maka pilihlah yang agamanya paling baik. Hal itu berarti mungkin saja jodoh kita orang yang miskin, tidak berpangkat, bukan keturunan orang baik, akan tetapi kita perlu menerimanya asalkan memiliki agama/akhlaq yang baik. Jangan kita menginginkan kesempurnaan dari orang lain, padahal diri kita tidak sempurna.
5. MEMPERLUAS PERGAULAN.
Cara yang lain agar cepat mendapatkan jodoh adalah memperluas pergaulan. Dengan pergaulan yang luas kita juga lebih banyak mendapatkan pilihan. Seringkali jodoh itu datang bukan dari perkenalan langsung, tapi dari kenalan teman kita. Bahkan dari kenalan dari kenalan teman kita. Itulah gunanya pergaulan yang luas. Ibarat seorang nelayan yang menebarkan jaringan yang luas untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak.
6. MEMINTA TOLONG ORANG LAIN.
Cara lain agar cepat mendapatkan jodoh adalah meminta tolong kepada orang lain yang reputasinya baik. Orang tersebut bisa saja guru mengaji, murobbi, teman, orang tua, saudara, dan lain-lain. Jangan malu-malu untuk meminta bantuan kepada mereka dan jangan malu-malu juga untuk mengulangi permintaan kita secara rutin agar orang tersebut ingat bahwa kita meminta bantuan kepadanya.
7. MENYATAKAN HASRAT SECARA LANGSUNG.
Bisa juga seorang wanita mendapatkan jodoh dengan cara menyatakan langsung kepada lelaki yang kita taksir bahwa kita siap menikah dengannya. Ini adalah cara yang masih asing dalam budaya Indonesia. Namun cara ini sebenarnya Islami, karena pernah dilakukan Khadijah ra kepada Nabi Muhammad saw. Khadijah ra yang lebih dahulu menyatakan hasratnya kepada Nabi melalui perantaranya. Menurut saya, cara ini perlu dimasyarakatkan di Indonesia, sehingga tidak ada lagi wanita yang malu-malu kucing, padahal hatinya sudah ingin sekali dilamar oleh lelaki yang diharapkannya.
Wallahua'lam
TAFAKKUR
Agar hidup ini lebih punya arah dan makna
Rabu, 21 Juli 2010
Rabu, 07 Juli 2010
Beri Peringatan, Jika Bermanfaat
Tidak diragukan lagi bahwa setiap peringatan yang disampaikan dari ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pasti bermanfaat dan mengandung kemaslahatan, baik bagi orang yang diseru maupun mubalighnya sendiri. Akan tetapi sekalipun demikian, seorang mubaligh atau da’i harus memperhatikan keadaan obyek dakwahnya, tingkat akal pikirannya, kecenderungannya dan permasalahannya sehingga dia bisa memilih materi yang tepat, waktu yang tepat serta bahasa dan kata yang tepat. Jika tidak, bisa jadi seruan ataupun peringatan tersebut tidak akan memberi manfaat, bahkan sebaliknya bisa menimbulkan fitnah.
Allah Ta’ala berfirman :
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى
“Maka berilah peringatan, apabila peringatan itu bermanfaat”
(QS. Al-A’laa : 9)
Imam Ibnu Katsier Rahimahullah mengatakan bahwa dari ayat tersebut bisa diambil suatu adab dalam menyebarkan ilmu, yakni janganlah ilmu tersebut diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, dalam arti belum pantas menerimanya. Sebagaimana kata Sayidina Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu : “Tidaklah kamu menyampaikan satu hadits kepada suatu kaum yang tidak dapat ditangkap oleh akal mereka, melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian dari mereka. Sampaikan kepada manusia apa yang bisa mereka pahami. Apakah kamu suka apabila Allah dan Rasul-Nya didustakan ?
Sementara itu Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah menjelaskan bahwa kita diperintah untuk memberi peringatan dengan syari’at Allah Ta’ala dan ayat-ayat-Nya selama peringatan dan nasihat tersebut diterima dan didengarkan sehingga sampai kepada mad’u akan maksud dari seruan peringatan itu.
Maka dalam menyampaikan materi dakwah, seorang da’i harus benar-benar mengetahui medan dakwahnya , tidak bisa dipukul rata antara satu dengan yang lain. Dalam materi aqidah misalnya, jangan langsung kita sampaikan kitab-kitab karangan ulama tentang aqidah yang biasa kita baca kepada setiap orang, karena ada suatu kaum tertentu yang bisa jadi tidak suka dengan pengarang kitab tersebut karena memang belum mengenalnya. Kita bisa sampaikan langsung ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits shahih yang memuat perkara aqidah beserta tafsir dan penjelasannya. Sebagai contoh Surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Muawwidzatain, ayat Kursi dan lain-lain. Insya Allah akan lebih bisa diterima oleh kaum tersebut, karena itu langsung dari Al-Qur’an dan hadits shahih. Dalam masalah fikih akan lebih kompleks lagi permasalahannya, sehingga seorang da’i harus ekstra berhati-hati dalam menyampaikan seruannya. Termasuk dalam perkara ini adalah dalam memilih lafadz khutbatul hajjah pada awal ceramah. Janganlah kita terlalu kaku untuk selalu memakai lafadz tertentu di setiap dakwah kita. Karena masing-masing kaum juga memiliki kebiasaan yang khas dalam masalah ini yang juga ada sunnahnya. Intinya kita berusaha jangan sampai dakwah kita ditolak justru sejak menit-menit pertama.
Seorang da’i juga harus jeli melihat kondisi obyek dakwahnya, apakah seruannya masih efektif atau tidak. Misalnya saat khutbah jum’at, jangan sampai khatib hanya menunduk membaca teks selama khutbah. Bisa jadi jama’ah sudah terlalu capai dan banyak yang tertidur, sehingga yang paling baik adalah justru mengakhiri khutbah tersebut.
Dalam dakwah ada perkara-perkara yang bersifat permanen yang baku dari manhaj Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Tetapi ada juga bagian dari adab-adab yang bersifat tidak permanen yang bisa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi, tetapi masih tetap dalam koridor Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih. Perkara ini mesti dipahami, agar dakwah dan peringatan benar-benar bermanfaat. Wallahu a’lam.
Allah Ta’ala berfirman :
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى
“Maka berilah peringatan, apabila peringatan itu bermanfaat”
(QS. Al-A’laa : 9)
Imam Ibnu Katsier Rahimahullah mengatakan bahwa dari ayat tersebut bisa diambil suatu adab dalam menyebarkan ilmu, yakni janganlah ilmu tersebut diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, dalam arti belum pantas menerimanya. Sebagaimana kata Sayidina Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu : “Tidaklah kamu menyampaikan satu hadits kepada suatu kaum yang tidak dapat ditangkap oleh akal mereka, melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian dari mereka. Sampaikan kepada manusia apa yang bisa mereka pahami. Apakah kamu suka apabila Allah dan Rasul-Nya didustakan ?
Sementara itu Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah menjelaskan bahwa kita diperintah untuk memberi peringatan dengan syari’at Allah Ta’ala dan ayat-ayat-Nya selama peringatan dan nasihat tersebut diterima dan didengarkan sehingga sampai kepada mad’u akan maksud dari seruan peringatan itu.
Maka dalam menyampaikan materi dakwah, seorang da’i harus benar-benar mengetahui medan dakwahnya , tidak bisa dipukul rata antara satu dengan yang lain. Dalam materi aqidah misalnya, jangan langsung kita sampaikan kitab-kitab karangan ulama tentang aqidah yang biasa kita baca kepada setiap orang, karena ada suatu kaum tertentu yang bisa jadi tidak suka dengan pengarang kitab tersebut karena memang belum mengenalnya. Kita bisa sampaikan langsung ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits shahih yang memuat perkara aqidah beserta tafsir dan penjelasannya. Sebagai contoh Surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Muawwidzatain, ayat Kursi dan lain-lain. Insya Allah akan lebih bisa diterima oleh kaum tersebut, karena itu langsung dari Al-Qur’an dan hadits shahih. Dalam masalah fikih akan lebih kompleks lagi permasalahannya, sehingga seorang da’i harus ekstra berhati-hati dalam menyampaikan seruannya. Termasuk dalam perkara ini adalah dalam memilih lafadz khutbatul hajjah pada awal ceramah. Janganlah kita terlalu kaku untuk selalu memakai lafadz tertentu di setiap dakwah kita. Karena masing-masing kaum juga memiliki kebiasaan yang khas dalam masalah ini yang juga ada sunnahnya. Intinya kita berusaha jangan sampai dakwah kita ditolak justru sejak menit-menit pertama.
Seorang da’i juga harus jeli melihat kondisi obyek dakwahnya, apakah seruannya masih efektif atau tidak. Misalnya saat khutbah jum’at, jangan sampai khatib hanya menunduk membaca teks selama khutbah. Bisa jadi jama’ah sudah terlalu capai dan banyak yang tertidur, sehingga yang paling baik adalah justru mengakhiri khutbah tersebut.
Dalam dakwah ada perkara-perkara yang bersifat permanen yang baku dari manhaj Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Tetapi ada juga bagian dari adab-adab yang bersifat tidak permanen yang bisa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi, tetapi masih tetap dalam koridor Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih. Perkara ini mesti dipahami, agar dakwah dan peringatan benar-benar bermanfaat. Wallahu a’lam.
Rabu, 10 Maret 2010
Semampu Kita
Saat acara KARIMAH di Manyaran malam Ahad, 6 Maret kemarin, sedianya Ustadz Sembodo mau datang. Padahal kami tahu bahwa sejak Jum’at kemarin jadwal beliau begitu padat, keluar kota terus. Tapi itu beliau, jika sudah menyanggupi suatu acara beliau pantang menyerah. Saya pernah mendengar sendiri beliau berkata : “Saya paling sulit untuk berkata tidak bisa”. Yakni jika ada tawaran dari umat untuk menyampaikan dakwah kebaikan Al-Islam ini. Maka demikian halnya ketika kami meminta beliau untuk memberi tausiyah pada acara mudzakarah di Manyaran malam Ahad lalu.
Sabtu itu ustadz Sembodo ada kegiatan di Solo sampai sore. Saat perjalanan kami yang dari Jogja hampir sampai tujuan, saya ditelpon oleh ustadz bahwa beliau akan berangkat dari solo menjelang maghrib. Sesi kajian ba’da isya yang sedianya disepakati jadi tugas saya, saya serahkan ke ustadz Sembodo. Saya pun jadi senang karena agak terkurangi beban dan sebenarnya memang beliaulah yang dinanti-nanti jama’ah di sana. Saya pun mengirim denah route lokasi melalui SMS.
Selepas isya’ para jama’ah berdatangan, bapak-bapak, ibu-ibu di samping kami peserta mudzakarah dari Jogja dan Klaten. Kami menunggu kedatangan ustadz hingga hampir jam 20.00. Saya sms beliau langsung dijawab, katanya sampai Sritek. Wah, masih cukup jauh. Akhirnya saya putuskan untuk saya isi dulu pengajiannya sambil menunggu kedatangan ustadz. Nanti kalau ustadz sudah datang, majelis saya serahkan ke beliau. Tetapi baru saja saya berembug dengan Pak Giyoto selaku takmir, HP saya berbunyi, ustadz Sembodo telpon. Kata beliau bahwa mereka sudah sampai Tawangsari, tetapi ternyata ada barang yang penting tertinggal saat sholat maghrib di masjid di daerah Sukaharjo, jadi harus mbalik lagi. Dan qodarullah, sepertinya dak mungkin mbalik lagi nyampe ke Manyaran, soalnya badan dalam kondisi sangat capek dan kepala pusing. Demikian kata beliau. Masya Allah.
Komitmen ustadz Sembodo dan usahanya yang demikian keras untuk memenuhinya akhirnya kandas karena ketetapan Allah Ta’ala. Hikmahnya adalah barangkali Allah menghendaki beliau untuk beristirahat untuk tugas-tugas yang lebih penting. Dan kami yakin, Allah tetap akan memberi pahala kepada siapa saja yang telah berazzam dan berusaha maksimal dalam beramal shalih. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu:
إذا مرض العبد أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيماً صحيحاً رواه البخاري.
“Apabila seseorang sedang sakit atau bepergian (sehingga terhalang dari amalan yang harusnya dia lakukan), Allah akan mencatat pahala secara sempurna sebagaimana dia beramal ketika sehat atau sedang mukim”.HR. Bukhari
Demikian pula di hadits yang lain, Rasulullah bersabda dari Jabir bin Abdillah Al-Anshary :
كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في غزاةٍ فقال: إن بالمدينة لرجالاً ما سرتم مسيراً، ولا قطعتم وادياً إلا كانوا معكم حبسهم المرض، وفي رواية: إلا شركوكم في الأجر رواه مسلمٌ.
“Kami bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam di perang Tabuk, lalu beliau bersabda : Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidaklah kalian menempuh satu perjalanan dan tidak pula kalian melewati lembah, kecuali mereka bersama kalian. Mereka tertahan oleh sakit yang dideritanya. Dalam riwayat lain : kecuali mereka berserikat dengan kalian dalam pahala.” HR. Muslim
Oleh karena itu hendaklah kita belajar untuk menjadi orang punya komitmen dan punya tekad, karena dengannya dia akan dihargai tidak hanya oleh manusia lain, tetapi oleh Allah Ta’ala dengan penghargaan yang sempurna. Jangan sampai hanya karena permasalahan yang juga dialami oleh teman-teman kita, kita tidak bisa berangkat untuk beramal. Padahal teman-teman kita bisa mengatasi permasalahannya dan bisa berangkat. Hendaklah kita senantiasa mau belajar dan berlatih bermujahadah dalam setiap amal yang kita kerjakan. Jangan mudah menyerah karena perkara-perkara sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan, jika perlu dimusyawarahkan bagaimana mengatasi permasalahan tersebut. Allahu Akbar !!!
Sabtu itu ustadz Sembodo ada kegiatan di Solo sampai sore. Saat perjalanan kami yang dari Jogja hampir sampai tujuan, saya ditelpon oleh ustadz bahwa beliau akan berangkat dari solo menjelang maghrib. Sesi kajian ba’da isya yang sedianya disepakati jadi tugas saya, saya serahkan ke ustadz Sembodo. Saya pun jadi senang karena agak terkurangi beban dan sebenarnya memang beliaulah yang dinanti-nanti jama’ah di sana. Saya pun mengirim denah route lokasi melalui SMS.
Selepas isya’ para jama’ah berdatangan, bapak-bapak, ibu-ibu di samping kami peserta mudzakarah dari Jogja dan Klaten. Kami menunggu kedatangan ustadz hingga hampir jam 20.00. Saya sms beliau langsung dijawab, katanya sampai Sritek. Wah, masih cukup jauh. Akhirnya saya putuskan untuk saya isi dulu pengajiannya sambil menunggu kedatangan ustadz. Nanti kalau ustadz sudah datang, majelis saya serahkan ke beliau. Tetapi baru saja saya berembug dengan Pak Giyoto selaku takmir, HP saya berbunyi, ustadz Sembodo telpon. Kata beliau bahwa mereka sudah sampai Tawangsari, tetapi ternyata ada barang yang penting tertinggal saat sholat maghrib di masjid di daerah Sukaharjo, jadi harus mbalik lagi. Dan qodarullah, sepertinya dak mungkin mbalik lagi nyampe ke Manyaran, soalnya badan dalam kondisi sangat capek dan kepala pusing. Demikian kata beliau. Masya Allah.
Komitmen ustadz Sembodo dan usahanya yang demikian keras untuk memenuhinya akhirnya kandas karena ketetapan Allah Ta’ala. Hikmahnya adalah barangkali Allah menghendaki beliau untuk beristirahat untuk tugas-tugas yang lebih penting. Dan kami yakin, Allah tetap akan memberi pahala kepada siapa saja yang telah berazzam dan berusaha maksimal dalam beramal shalih. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu:
إذا مرض العبد أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيماً صحيحاً رواه البخاري.
“Apabila seseorang sedang sakit atau bepergian (sehingga terhalang dari amalan yang harusnya dia lakukan), Allah akan mencatat pahala secara sempurna sebagaimana dia beramal ketika sehat atau sedang mukim”.HR. Bukhari
Demikian pula di hadits yang lain, Rasulullah bersabda dari Jabir bin Abdillah Al-Anshary :
كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في غزاةٍ فقال: إن بالمدينة لرجالاً ما سرتم مسيراً، ولا قطعتم وادياً إلا كانوا معكم حبسهم المرض، وفي رواية: إلا شركوكم في الأجر رواه مسلمٌ.
“Kami bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam di perang Tabuk, lalu beliau bersabda : Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidaklah kalian menempuh satu perjalanan dan tidak pula kalian melewati lembah, kecuali mereka bersama kalian. Mereka tertahan oleh sakit yang dideritanya. Dalam riwayat lain : kecuali mereka berserikat dengan kalian dalam pahala.” HR. Muslim
Oleh karena itu hendaklah kita belajar untuk menjadi orang punya komitmen dan punya tekad, karena dengannya dia akan dihargai tidak hanya oleh manusia lain, tetapi oleh Allah Ta’ala dengan penghargaan yang sempurna. Jangan sampai hanya karena permasalahan yang juga dialami oleh teman-teman kita, kita tidak bisa berangkat untuk beramal. Padahal teman-teman kita bisa mengatasi permasalahannya dan bisa berangkat. Hendaklah kita senantiasa mau belajar dan berlatih bermujahadah dalam setiap amal yang kita kerjakan. Jangan mudah menyerah karena perkara-perkara sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan, jika perlu dimusyawarahkan bagaimana mengatasi permasalahan tersebut. Allahu Akbar !!!
Mabuk fii Sabilillah
Sabtu sore, 6 Maret 2010 kami diundang oleh teman-teman di Manyaran Wonogiri dalam acara Mudzakarah Taklim dan Dakwah (KARIMAH), kegiatan yang kami sepakati dilaksanakan setiap dua bulan sekali. Ini sudah yang kedua kalinya. Peserta yang diundang adalah teman-teman ngaji dari beberapa tempat, seperti Jogja, Bantul, Kulonprogo dan Klaten. Maksud dan tujuan dari acara itu adalah untuk lebih saling mengenal di antara kami dengan saling berkunjung ke daerah asalnya dan untuk lebih menjalin kesatuan hati. Selain itu kami bermudzakarah, berdiskusi berbagi pengalaman tentang taklim dan dakwah Islam.
Dari Jogja, peserta yang mendaftar pingin berangkat sebanyak 14 orang, tetapi yang akhirnya berangkat 9 orang. Transportasi disediakan oleh Pak Wahyu berupa mobil Ranger Polisi Hutan, lengkap dengan stiker besar POLISI HUTAN dan sirinenya. Ini mobil truck ranger pick up yang dilengkapi dengan tenda di belakang, wah sangar bener. Kami yang di belakang duduk menyamping mirip tahanan pencuri kayu yang ketangkep operasi POLHUT. Mobil pun berjalan dengan mantabnya. Selepas Piyungan, jalan mulai naik turun dan berkelok-kelok. Saya kebagian duduk di depan karena sebagai penunjuk jalan. Kira-kira separo perjalanan, saya mulai khawatir dengan kondisi teman-teman di belakang, karena jalan naik turun, duduk menyamping, ditambah suspensi mobil yang keras. Saya pun mencoba telpon Om Sigit, gak diangkat-angkat, ganti telpon Pak Mardi, juga gak diangkat, telpon Mas Hangga malah gak nyambung, piye iki? Ya sudah lah, pikir saya jika gak ada keluhan berarti oke.
Mobil terus melaju, tapi sampai di daerah Ngawen, ada yang ketok-ketok mobil dari belakang, minta berhenti. Mobil pun berhenti, ternyata jatuh korban satu, mas Hangga mabok, muntah-muntah. Ya sudah, akhirnya pindah depan berdua sama saya plus sopir Pak Wahyu. Mobil melaju lagi sampai kira-kira setelah melewati Semin ada yang ketok-ketok lagi, dua korban lagi jatuh, Pak Mardi dan Pak Indro. Pak Indro yang ngeri, sampai hoak hoek sambil nyonthong plastik kresek kayak perempuan lagi hamil muda. Hoak-hoek berkali-kali tapi gak ada yang keluar tuh muntahan. Sementara Pak Mardi berhasil muntah dengan sukses trus senyum-senyum, sudah lega katanya. Sisa perjalanan yang tinggal sekitar 3 km akhirnya menyingkirkan saya ke gerbong belakang karena kursi depan diisi oleh Pak Indro dan Hangga. Alhamdulillah sampailah di Masjid Al Ikhlas, Kepuh, Manyaran, Wonogiri. Sesampai di masjid langsung pada nggeblak, nglekar. Menjelang masuk kampung kami berpapasan dengan sbuah truk yang penuh muatan kayu tebangan. Saat itu mereka terlihat sedikit panik, mungkin kami dikira rombongan polisi hutan yang tengah berpatroli. Masak polisi patroli kok pada mabuk perjalanan, gimana mau tangkap itu pencuri?
Waktu pulang strategi diubah. Yang mendapat jatah duduk di depan adalah para korban saat berangkat dengan bergiliran, antara Hangga, Pak Indro dan Pak Mardi. Perjanjiannya apabila terjadi gejala mabuk bagi yang di belakang, harus segera ketok body mobil di depan tanda pergantian pemain yang duduk di depan. Giliran pertama dipegang oleh Hangga. Di belakang, Pak Mardi dan Pak Indro duduk konsentrasi sambil terus menghadap ke depan untuk meminimalisir gejala mabuk. Baru seperempat perjalanan, Pak Indro ketok-ketok, ganti pemain. Herannya di saat teman-temannya berjuang melawan goncangan kepala dan perut, bisa-bisanya Pak Pardi (bukan Mardi) tertidur, demikian juga Pak Jarmanto, sampai hampir saja terjengkang karena tidak bersandar saat tertidur. Akhirnya sebagai amir rombongan yang ditunjuk, saya pun memutuskan untuk istirahat sejenak di kawasan tanaman kayu putih, tempat yang cukup tinggi dan teduh. Udara segar cukup mengobati rasa pegal dan mual, sambil minum air mineral dan makan pisang bawaan dari Manyaran. Akhirnya perjalanan dilanjutkan sampai Jogja dengan selamat, Alhamdulillah.
Walaupun terasa begitu berat di perjalanan, tapi kami semua merasa senang, termasuk bagi yang mabuk di perjalanan. Kami sadari bahwa perjalanan ini insya Allah termasuk sabilillah, karena kami hendak ngaji, membicarakan agama Allah sekaligus ziaratul ikhwah di Manyaran. Kami sempat membayangkan bahwa nanti kalau sabilillah dalam perang, mungkin kendaraan yang digunakan lebih berat dari yang ini, dan tidak boleh mabuk. Lha bagaimana mungkin mau nembak musuh kok mabuk, pusing-pusing dan mual? Gak jadi perang deh. Kami hanya berharap kepada Allah Ta’ala, semoga jerih payah kami ini diberi pahala yang berlipat di sisi-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam : Fa inna idzamal jazaa’ ma’a idzamil bala’ (sesungguhnya besarnya balasan/pahala tergantung dari besarnya cobaan). Semoga. Amiin.
Dari Jogja, peserta yang mendaftar pingin berangkat sebanyak 14 orang, tetapi yang akhirnya berangkat 9 orang. Transportasi disediakan oleh Pak Wahyu berupa mobil Ranger Polisi Hutan, lengkap dengan stiker besar POLISI HUTAN dan sirinenya. Ini mobil truck ranger pick up yang dilengkapi dengan tenda di belakang, wah sangar bener. Kami yang di belakang duduk menyamping mirip tahanan pencuri kayu yang ketangkep operasi POLHUT. Mobil pun berjalan dengan mantabnya. Selepas Piyungan, jalan mulai naik turun dan berkelok-kelok. Saya kebagian duduk di depan karena sebagai penunjuk jalan. Kira-kira separo perjalanan, saya mulai khawatir dengan kondisi teman-teman di belakang, karena jalan naik turun, duduk menyamping, ditambah suspensi mobil yang keras. Saya pun mencoba telpon Om Sigit, gak diangkat-angkat, ganti telpon Pak Mardi, juga gak diangkat, telpon Mas Hangga malah gak nyambung, piye iki? Ya sudah lah, pikir saya jika gak ada keluhan berarti oke.
Mobil terus melaju, tapi sampai di daerah Ngawen, ada yang ketok-ketok mobil dari belakang, minta berhenti. Mobil pun berhenti, ternyata jatuh korban satu, mas Hangga mabok, muntah-muntah. Ya sudah, akhirnya pindah depan berdua sama saya plus sopir Pak Wahyu. Mobil melaju lagi sampai kira-kira setelah melewati Semin ada yang ketok-ketok lagi, dua korban lagi jatuh, Pak Mardi dan Pak Indro. Pak Indro yang ngeri, sampai hoak hoek sambil nyonthong plastik kresek kayak perempuan lagi hamil muda. Hoak-hoek berkali-kali tapi gak ada yang keluar tuh muntahan. Sementara Pak Mardi berhasil muntah dengan sukses trus senyum-senyum, sudah lega katanya. Sisa perjalanan yang tinggal sekitar 3 km akhirnya menyingkirkan saya ke gerbong belakang karena kursi depan diisi oleh Pak Indro dan Hangga. Alhamdulillah sampailah di Masjid Al Ikhlas, Kepuh, Manyaran, Wonogiri. Sesampai di masjid langsung pada nggeblak, nglekar. Menjelang masuk kampung kami berpapasan dengan sbuah truk yang penuh muatan kayu tebangan. Saat itu mereka terlihat sedikit panik, mungkin kami dikira rombongan polisi hutan yang tengah berpatroli. Masak polisi patroli kok pada mabuk perjalanan, gimana mau tangkap itu pencuri?
Waktu pulang strategi diubah. Yang mendapat jatah duduk di depan adalah para korban saat berangkat dengan bergiliran, antara Hangga, Pak Indro dan Pak Mardi. Perjanjiannya apabila terjadi gejala mabuk bagi yang di belakang, harus segera ketok body mobil di depan tanda pergantian pemain yang duduk di depan. Giliran pertama dipegang oleh Hangga. Di belakang, Pak Mardi dan Pak Indro duduk konsentrasi sambil terus menghadap ke depan untuk meminimalisir gejala mabuk. Baru seperempat perjalanan, Pak Indro ketok-ketok, ganti pemain. Herannya di saat teman-temannya berjuang melawan goncangan kepala dan perut, bisa-bisanya Pak Pardi (bukan Mardi) tertidur, demikian juga Pak Jarmanto, sampai hampir saja terjengkang karena tidak bersandar saat tertidur. Akhirnya sebagai amir rombongan yang ditunjuk, saya pun memutuskan untuk istirahat sejenak di kawasan tanaman kayu putih, tempat yang cukup tinggi dan teduh. Udara segar cukup mengobati rasa pegal dan mual, sambil minum air mineral dan makan pisang bawaan dari Manyaran. Akhirnya perjalanan dilanjutkan sampai Jogja dengan selamat, Alhamdulillah.
Walaupun terasa begitu berat di perjalanan, tapi kami semua merasa senang, termasuk bagi yang mabuk di perjalanan. Kami sadari bahwa perjalanan ini insya Allah termasuk sabilillah, karena kami hendak ngaji, membicarakan agama Allah sekaligus ziaratul ikhwah di Manyaran. Kami sempat membayangkan bahwa nanti kalau sabilillah dalam perang, mungkin kendaraan yang digunakan lebih berat dari yang ini, dan tidak boleh mabuk. Lha bagaimana mungkin mau nembak musuh kok mabuk, pusing-pusing dan mual? Gak jadi perang deh. Kami hanya berharap kepada Allah Ta’ala, semoga jerih payah kami ini diberi pahala yang berlipat di sisi-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam : Fa inna idzamal jazaa’ ma’a idzamil bala’ (sesungguhnya besarnya balasan/pahala tergantung dari besarnya cobaan). Semoga. Amiin.
Selasa, 02 Maret 2010
Bodoh dari Keburukan
Serasa dapat energi baru untuk nulis, beberapa hari lalu saya membaca tafsir Surat Az-Zumar mulai ayat 1-4 dari kitab Shofwatul Bayan. Pada keterangan tafsirnya dinukilkan sebuah hadits dari Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa salam, beliau bersabda : “Katsiiru ahlil jannah al-bulhu”. (Kebanyakan dari penduduk surga adalah al-Bulhu). Siapakah yang dimaksud al-bulhu itu ? Inilah yang membuat penasaran, terutama bagi setiap orang yang berharap ingin masuk ke dalamnya. Beberapa ulama memberikan penjelasan tentang kosa kata tersebut. Az-Zuhry mengatakan bahwa dia adalah orang yang lalai dari melakukan keburukan karena tidak pernah mengenalnya. Sementara Al-Qataby menjelaskan bahwa dia adalah orang yang dikuasai oleh hati yang selamat dan prasangka baik kepada manusia lain. Itulah penjelasan dari ulama yang dinukil dalam kitab tersebut. Saya masih penasaran, definisi mana yang lebih dekat. Sesampai di rumah saya membuka kamus arab-indonesia susunan Mahmud Yunus yang cukup tipis. Saya dapati kata “al-bulhu” memiliki arti orang yang bodoh dan lemah akalnya. Laa ilaaha illallah, saya mencoba membandingkan dengan definisi yang dijelaskan oleh para ulama di atas. Kesimpulan sementara saya, pengertian al-bulhu lebih dekat pada definisi yang diberikan oleh Az-Zuhry rahimahullah, yakni orang yang lalai dari keburukan karena tidak pernah mengenalnya, dia bodoh tentangnya. Wallahu a’lam.
Jika memang demikian, kebanyakan penduduk surga adalah orang yang bodoh dalam perkara-perkara keburukan atau yang condong kepada keburukan. Mereka bodoh karena memang tidak pernah mengenalnya. Waktu dan perhatian mereka senantiasa tercurah untuk mempelajari dan melakukan perkara-perkara yang bermanfaat buat mereka, terutama yang bisa mengarahkan kepada jannah/surga. Mereka sibuk belajar Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, mengamalkannya, mendakwahkannya, serta mencari sarana yag memudahkan mereka untuk menempuh itu semua. Mereka mencari karunia Allah di dunia berupa rezeki adalah demi menjalankan perintah Allah itu sendiri, yakni supaya mencari rezeki. Jikalau Allah memberi rezeki, mereka pergunakan untuk menunaikan hak-hak yang Allah perintahkan untuk ditunaikan, untuk dirinya, keluarganya, orang tuanya, tetangganya, keperluan taklim dan dakwahnya dan sebagainya. Dalam benak mereka hanya terbayang perintah dari Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam :
تؤدون الحق الذي عليكم، وتسألون الله الذي لكم متفقٌ عليه …
“Tunaikan apa yang menjadi kewajibanmu, mintalah hakmu kepada Allah”.
(HR. Bukhari – Muslim)
Mereka tidak sempat lagi untuk menoleh, memalingkan perhatian kepada perkara yang condong kepada keburukan, apalagi kok sibuk mendalami sehingga menjadi ahli dalam perkara keburukan itu. Na’udzubillah.
Orang-orang yang disebut al-bulhu tidak peduli dengan anggapan dan celaan orang-orang di sekitarnya, jika memang anggapan itu condong kepada keburukan. Sebagian orang mengatakan mereka tidak gaul, tidak modis, tidak canggih, sebagian lagi mengatakan kampungan, wong ndeso, gaptek dan sebagainya. Semua itu tidak masalah bagi mereka, toh semua yang disebutkan tadi hanya kembangnya dunia yang cepat atau lambat, tapi yang jelas pasti akan ditinggalkan dan akan rusak binasa. Mereka tidak mengingkari adanya banyak kemudahan dari segala fasilitas yang ada, hanya saja kalaupun mereka menggunakan dan memanfaatkannya adalah dalam rangka mendukung amalannya menuju jannah. Prinsipnya sekalipun mereka tidak ngerti apa itu komputer, mobil, internet, facebook, twitter, blackberry, naik pesawat, masuk mall, kampus, jadi sarjana, doktor dan semacamnya, semua itu tidak menjadi masalah buat mereka. Karena semua itu sekali lagi adalah kembangnya dunia. Dan mereka teringat sabda Kanjeng Nabi :
الدنيا ملعونةٌ، ملعونٌ ما فيها، إلا ذكر الله تعالى، وما والاه، وعالماً، أو متعلماً
رواه الترمذي وقال: حديثٌ حسنٌ.
“Dunia dan isinya adalah terlaknat (jauh dari rahmat Allah Ta’ala), kecuali dzikrullah dan setiap ketaatan kepada Allah, orang yang ‘alim dan orang yang belajar ilmu.”
HR. Tirmidzi, Hadits Hasan.
Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa sebagian besar kembangnya dunia tersebut apabila tidak berhati-hati betul dalam berhubungan dengannya bisa berakibat buruk dan menjerumuskan. Dari mudahnya syaithon membisikkan sifat takabur bin sombong dengan kelebihannya, merasa lebih hebat dari orang lain, berlaku boros (tabdzir), gonta-ganti mobil, gonta-ganti HP hanya dengan alasan “ada yang baru” hingga yang betul-betul menggunakannya untuk perkara maksiat. Adapun jika memang kita bisa memanfaatkannya betul-betul dalam rangka mendukung dzikrullah, maka tidak masalah.
Nah, itulah al-Bulhu, orang yang tidak begitu ngerti dengan perkara keburukan dan hal-hal yang condong kepadanya. Mereka tidak ngerti karena memang tidak sempat untuk menoleh dan berpaling kepadanya karena sibuk berkonsentrasi dengan ilmu dan amalan ke surga. Mereka tidak ngerti juga bisa karena memilih tidak mau berlebihan dalam berinteraksi dengan kembangnya dunia karena khawatir akan keselamatan iman dan agama mereka.
Allahu musta’an.
Jika memang demikian, kebanyakan penduduk surga adalah orang yang bodoh dalam perkara-perkara keburukan atau yang condong kepada keburukan. Mereka bodoh karena memang tidak pernah mengenalnya. Waktu dan perhatian mereka senantiasa tercurah untuk mempelajari dan melakukan perkara-perkara yang bermanfaat buat mereka, terutama yang bisa mengarahkan kepada jannah/surga. Mereka sibuk belajar Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, mengamalkannya, mendakwahkannya, serta mencari sarana yag memudahkan mereka untuk menempuh itu semua. Mereka mencari karunia Allah di dunia berupa rezeki adalah demi menjalankan perintah Allah itu sendiri, yakni supaya mencari rezeki. Jikalau Allah memberi rezeki, mereka pergunakan untuk menunaikan hak-hak yang Allah perintahkan untuk ditunaikan, untuk dirinya, keluarganya, orang tuanya, tetangganya, keperluan taklim dan dakwahnya dan sebagainya. Dalam benak mereka hanya terbayang perintah dari Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam :
تؤدون الحق الذي عليكم، وتسألون الله الذي لكم متفقٌ عليه …
“Tunaikan apa yang menjadi kewajibanmu, mintalah hakmu kepada Allah”.
(HR. Bukhari – Muslim)
Mereka tidak sempat lagi untuk menoleh, memalingkan perhatian kepada perkara yang condong kepada keburukan, apalagi kok sibuk mendalami sehingga menjadi ahli dalam perkara keburukan itu. Na’udzubillah.
Orang-orang yang disebut al-bulhu tidak peduli dengan anggapan dan celaan orang-orang di sekitarnya, jika memang anggapan itu condong kepada keburukan. Sebagian orang mengatakan mereka tidak gaul, tidak modis, tidak canggih, sebagian lagi mengatakan kampungan, wong ndeso, gaptek dan sebagainya. Semua itu tidak masalah bagi mereka, toh semua yang disebutkan tadi hanya kembangnya dunia yang cepat atau lambat, tapi yang jelas pasti akan ditinggalkan dan akan rusak binasa. Mereka tidak mengingkari adanya banyak kemudahan dari segala fasilitas yang ada, hanya saja kalaupun mereka menggunakan dan memanfaatkannya adalah dalam rangka mendukung amalannya menuju jannah. Prinsipnya sekalipun mereka tidak ngerti apa itu komputer, mobil, internet, facebook, twitter, blackberry, naik pesawat, masuk mall, kampus, jadi sarjana, doktor dan semacamnya, semua itu tidak menjadi masalah buat mereka. Karena semua itu sekali lagi adalah kembangnya dunia. Dan mereka teringat sabda Kanjeng Nabi :
الدنيا ملعونةٌ، ملعونٌ ما فيها، إلا ذكر الله تعالى، وما والاه، وعالماً، أو متعلماً
رواه الترمذي وقال: حديثٌ حسنٌ.
“Dunia dan isinya adalah terlaknat (jauh dari rahmat Allah Ta’ala), kecuali dzikrullah dan setiap ketaatan kepada Allah, orang yang ‘alim dan orang yang belajar ilmu.”
HR. Tirmidzi, Hadits Hasan.
Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa sebagian besar kembangnya dunia tersebut apabila tidak berhati-hati betul dalam berhubungan dengannya bisa berakibat buruk dan menjerumuskan. Dari mudahnya syaithon membisikkan sifat takabur bin sombong dengan kelebihannya, merasa lebih hebat dari orang lain, berlaku boros (tabdzir), gonta-ganti mobil, gonta-ganti HP hanya dengan alasan “ada yang baru” hingga yang betul-betul menggunakannya untuk perkara maksiat. Adapun jika memang kita bisa memanfaatkannya betul-betul dalam rangka mendukung dzikrullah, maka tidak masalah.
Nah, itulah al-Bulhu, orang yang tidak begitu ngerti dengan perkara keburukan dan hal-hal yang condong kepadanya. Mereka tidak ngerti karena memang tidak sempat untuk menoleh dan berpaling kepadanya karena sibuk berkonsentrasi dengan ilmu dan amalan ke surga. Mereka tidak ngerti juga bisa karena memilih tidak mau berlebihan dalam berinteraksi dengan kembangnya dunia karena khawatir akan keselamatan iman dan agama mereka.
Allahu musta’an.
Senin, 28 Desember 2009
Tahun Baru : Darimana, Ada apa
TANGGAL TAHUN BARU
Kalender Romawi kuno menggunakan tanggal 1 Maret sebagai Hari Tahun Baru. Belakangan, orang Romawi Kuno menggunakan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun yang baru. Pada Abad Pertengahan, kebanyakan negara-negara Eropa menggunakan tanggal 25 Maret, hari raya umat Kristen yang disebut Hari Kenaikan Tuhan, sebagai awal tahun yang baru. Hingga tahun 1600, kebanyakan negara-negara Barat telah menggunakan sistem penanggalan yang telah direvisi, yang disebut kalender Gregorian.
Kalender yang hingga kini digunakan itu menggunakan 1 Januari kembali sebagai Hari Tahun Baru. Inggris dan koloni-koloninya di Amerika Serikat ikut menggunakan sistem penanggalan tersebut pada tahun 1752. Kebanyakan orang memperingati tahun baru pada tanggal yang ditentukan oleh agama mereka. Tahun baru umat Yahudi, Rosh Hashanah, dirayakan pada bulan September atau awal Oktober. Umat Hindu merayakannya pada tanggal-tanggal tertentu. Umat Islam menggunakan sistem penanggalan yang terdiri dari 354 hari setiap tahunnya. Karena itu, tahun baru mereka jatuh pada tanggal yang berbeda-beda pada kalender Gregorian tiap tahunnya.
SEJARAH DAN CARA MERAYAKAN DI MASA LAMPAU
Kebanyakan orang di masa silam memulai tahun yang baru pada hari panen. Mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan untuk meninggalkan masa lalu dan memurnikan dirinya untuk tahun yang baru. Orang Persia kuno mempersembahkan hadiah telur untuk Tahun Baru, sebagai lambang dari produktivitas. Orang Romawi kuno saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Bulan Januari mendapat nama dari dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang). Orang-orang Romawi mempersembahkan hadiah kepada kaisar. Para kaisar lambat-laun mewajibkan hadiah-hadiah seperti itu. Para pendeta Keltik memberikan potongan dahan mistletoe, yang dianggap suci, kepada umat mereka. Orang-orang Keltik mengambil banyak kebiasaan tahun baru orang-orang Romawi, yang menduduki kepulauan Inggris pada tahun 43 Masehi.
Pada tahun 457 Masehi gereja Kristen melarang kebiasaan ini, bersama kebiasaan tahun baru lain yang dianggapnya merupakan kebiasaan kafir. Pada tahun 1200-an pemimpin-pemimpin Inggris mengikuti kebiasaan Romawi yang mewajibkan rakyat mereka memberikan hadiah tahun baru. Para suami di Inggris memberi uang kepada para istri mereka untuk membeli bros sederhana (pin). Kebiasaan ini hilang pada tahun 1800-an, namun istilah pin money, yang berarti sedikit uang jajan, tetap digunakan. Banyak orang-orang koloni di New England, Amerika, yang merayakan tahun baru dengan menembakkan senapan ke udara dan teriak, sementara yang lain mengikuti perayaan di gereja atau pesta terbuka.
PERAYAAN MODERN
Sekalipun tahun baru juga merupakan hari suci Kristiani, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Amerika. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan "Selamat Tahun Baru" dan menyanyikan Auld Lang Syne.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana.
Perayaan Tahun Baru
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi maupun orang Kafir yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari.
Orang Kristen ikut merayakan Tahun Baru tersebut dan mereka mengadakan puasa khusus serta ekaristi berdasarkan keputusan Konsili Tours pada tahun 567. Pada mulanya setiap negeri mempunyai perayaan Tahun Baru yang berbeda-beda. Di Inggris dirayakan pada tanggal 25 Maret. Di Jerman dirayakan pada hari Natal sedangkan di Perancis dirayakan pada Hari paskah.
Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Bahan ini diambil dari:
Judul buku: Kamus Sejarah Gereja
Penulis : Drs. F.D. Wellem, M.Th.
www.indrayogi. multiply.com
***
Itulah yang terjadi dengan tanggal 1 Januari. Nah, kita kaum muslimin, apakah kita juga mau ikut-ikutan orang kafir semacam Yahudi dan Kristen ? Tanpa mau berpikir dahulu pada apa yang kita perbuat ? Apalagi peringatan tahun baru sekarang ini selalu dipenuhi dengan kesyirikan dengan mendatangi para tukang ramal, mulai dari pejabat, politikus, pengusaha, konglomerat, artis, pedagang hingga rakyat. Juga penghambur-hamburan uang untuk acara-acara sesaat pemuas syahwat. Ingatlah bahwa setiap yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, teladan kita semua telah memperingatkan. Beliau bersabda :
ِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ،
قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/ jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir), niscaya kalian akan mengikuti mereka.”
Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?”
Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat Al-Lu’lu Wal Marjan, hadits no. 1708]
Kalender Romawi kuno menggunakan tanggal 1 Maret sebagai Hari Tahun Baru. Belakangan, orang Romawi Kuno menggunakan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun yang baru. Pada Abad Pertengahan, kebanyakan negara-negara Eropa menggunakan tanggal 25 Maret, hari raya umat Kristen yang disebut Hari Kenaikan Tuhan, sebagai awal tahun yang baru. Hingga tahun 1600, kebanyakan negara-negara Barat telah menggunakan sistem penanggalan yang telah direvisi, yang disebut kalender Gregorian.
Kalender yang hingga kini digunakan itu menggunakan 1 Januari kembali sebagai Hari Tahun Baru. Inggris dan koloni-koloninya di Amerika Serikat ikut menggunakan sistem penanggalan tersebut pada tahun 1752. Kebanyakan orang memperingati tahun baru pada tanggal yang ditentukan oleh agama mereka. Tahun baru umat Yahudi, Rosh Hashanah, dirayakan pada bulan September atau awal Oktober. Umat Hindu merayakannya pada tanggal-tanggal tertentu. Umat Islam menggunakan sistem penanggalan yang terdiri dari 354 hari setiap tahunnya. Karena itu, tahun baru mereka jatuh pada tanggal yang berbeda-beda pada kalender Gregorian tiap tahunnya.
SEJARAH DAN CARA MERAYAKAN DI MASA LAMPAU
Kebanyakan orang di masa silam memulai tahun yang baru pada hari panen. Mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan untuk meninggalkan masa lalu dan memurnikan dirinya untuk tahun yang baru. Orang Persia kuno mempersembahkan hadiah telur untuk Tahun Baru, sebagai lambang dari produktivitas. Orang Romawi kuno saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Bulan Januari mendapat nama dari dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang). Orang-orang Romawi mempersembahkan hadiah kepada kaisar. Para kaisar lambat-laun mewajibkan hadiah-hadiah seperti itu. Para pendeta Keltik memberikan potongan dahan mistletoe, yang dianggap suci, kepada umat mereka. Orang-orang Keltik mengambil banyak kebiasaan tahun baru orang-orang Romawi, yang menduduki kepulauan Inggris pada tahun 43 Masehi.
Pada tahun 457 Masehi gereja Kristen melarang kebiasaan ini, bersama kebiasaan tahun baru lain yang dianggapnya merupakan kebiasaan kafir. Pada tahun 1200-an pemimpin-pemimpin Inggris mengikuti kebiasaan Romawi yang mewajibkan rakyat mereka memberikan hadiah tahun baru. Para suami di Inggris memberi uang kepada para istri mereka untuk membeli bros sederhana (pin). Kebiasaan ini hilang pada tahun 1800-an, namun istilah pin money, yang berarti sedikit uang jajan, tetap digunakan. Banyak orang-orang koloni di New England, Amerika, yang merayakan tahun baru dengan menembakkan senapan ke udara dan teriak, sementara yang lain mengikuti perayaan di gereja atau pesta terbuka.
PERAYAAN MODERN
Sekalipun tahun baru juga merupakan hari suci Kristiani, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Amerika. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan "Selamat Tahun Baru" dan menyanyikan Auld Lang Syne.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana.
Perayaan Tahun Baru
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi maupun orang Kafir yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari.
Orang Kristen ikut merayakan Tahun Baru tersebut dan mereka mengadakan puasa khusus serta ekaristi berdasarkan keputusan Konsili Tours pada tahun 567. Pada mulanya setiap negeri mempunyai perayaan Tahun Baru yang berbeda-beda. Di Inggris dirayakan pada tanggal 25 Maret. Di Jerman dirayakan pada hari Natal sedangkan di Perancis dirayakan pada Hari paskah.
Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Bahan ini diambil dari:
Judul buku: Kamus Sejarah Gereja
Penulis : Drs. F.D. Wellem, M.Th.
www.indrayogi. multiply.com
***
Itulah yang terjadi dengan tanggal 1 Januari. Nah, kita kaum muslimin, apakah kita juga mau ikut-ikutan orang kafir semacam Yahudi dan Kristen ? Tanpa mau berpikir dahulu pada apa yang kita perbuat ? Apalagi peringatan tahun baru sekarang ini selalu dipenuhi dengan kesyirikan dengan mendatangi para tukang ramal, mulai dari pejabat, politikus, pengusaha, konglomerat, artis, pedagang hingga rakyat. Juga penghambur-hamburan uang untuk acara-acara sesaat pemuas syahwat. Ingatlah bahwa setiap yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, teladan kita semua telah memperingatkan. Beliau bersabda :
ِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ،
قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/ jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir), niscaya kalian akan mengikuti mereka.”
Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?”
Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat Al-Lu’lu Wal Marjan, hadits no. 1708]
Senin, 14 Desember 2009
Hari Baik
Akhir bulan Dzulhijah, saat banyak jamaah haji yang pulang dari tanah suci. Juga saat rame-ramenya orang punya hajatan manten, khususnya di Jawa. Hari-hari telah habis dipilih untuk jadwal ijab dan resepsi. Ketua sinoman dan wadyobolonya jadi pusing saking padatnya jadwal laden. Di satu sisi pihak catering dan jasa sewa gedung dan perkakas sama meringis kesenangan karena dagangannya laris manis. Apalagi Ahad kemarin (13 des), dalam satu hari bisa dijumpai banyak event resepsi mantenan dalam waktu yang bersamaan. Tanya kenapa?
Fenomena ini tak terlepas dari anggapan atau bahkan keyakinan sebagian besar masyarakat kita tentang hari baik dan hari buruk. Bukankah beberapa hari lagi sudah masuk bulan syuro (Muharrom) Tahun 1431 Hijriyah? Inilah masalahnya. Sebagian besar masyarakat kita masih menganggap bahwa bulan syuro adalah hari-hari yang tidak baik untuk punya keperluan yang dianggap penting. Hal itu karena adanya kekhawatiran dan ketakutan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (celaka) bila melanggar. Saya sendiri kurang tahu, siapa yang sebenarnya yang pertama kali menghembus-hembuskan anggapan yang akhirnya diyakini, bahwa hari-hari di bulan syuro adalah hari buruk dan menakutkan untuk mengadakan acara hajatan.
Kalo di dalam Islam, yang berkenaan dengan waktu atau hari, yang ada hanya waktu/hari baik dan baik sekali. Tidak ada istilah hari buruk atau waktu buruk. Apalagi jika berkenaan untuk mengerjakan sebuah amalan kebaikan seperti berdoa, dzikir, nikahkan anak, sunatan, sedekah dsb. Setiap saat dalam satu hari baik semua, tapi ada yang lebih baik, yakni sepertiga malam terakhir. Dalam 1 minggu juga demikian, semua hari baik semua, Ahad, Senin, Selasa, Rabu dan seterusnya, tetapi ada yang terbaik, yakni hari Jum'at. Juga dalam setahun, semua bulan baik semua, yang terbaik adalah bulan Ramadhan, kemudian 10 hari awal Dzulhijah, bulan Muharom, Sya'ban dan seterusnya. Yang ada hanyalah hari baik dan baik sekali, tidak ada yang buruk. Seperti kalo kita bertanya kepada orang yang baru nikah, katanya enaknya hanya 10%, sedangkan yang 90% uenak sekali. Enak kan ?
Bulan Syuro (Muharom) adalah satu di antara bulan-bulan haram yang dihormati dan bulan aman. Di bulan tersebut tidak boleh mengawali perang, mengganggu ibadah dsb. Mestinya orang senang beramal kebaikan di bulan itu, termasuk nikahkan anak, karena nikah termasuk ibadah. Tetapi kalo orang sudah tidak mau berpikir, hanya ikut-ikutan takut (mending ikut-ikutan senang), bahwa hal itu termasuk kesyirikan juga nggak terpikir. Atau bahkan tidak paham bahwa hal itu termasuk perkara yang membuat Allah Ta'ala murka dan bisa menghapus amal kebaikan yang pernah dilakukan. Sebagaimana kita semua tahu, kebanyakan masyakarat kita menyambut bulan Syuro ini pun masih banyak dengan amalan kesyirikan, di Solo dengan kerbau dan kotorannya, di Jogja dengan thawaf beteng mbisunya, dan berbagai bentuk kesyirikan nyata lainnya di tempat yang lain. Belum lagi syaitan yang menghembus-hembuskan bisikan bahwa semua itu adalah baik, warisan leluhur yang harus dilestarikan, budaya bangsa, aset wisata dan semancamnya. Suatu amalan yang sungguh konyol, sudah repot, keluar uang, tenaga tapi malah dapat murka dari Penguasa alam semesta. Sudah diberi yang mudah dan enak tidak mau, malah cari-cari masalah. Ya, itulah manusia, kebanyakan mereka tidak bersyukur dan tidak mau tunduk kepada Rabbnya.
Fenomena ini tak terlepas dari anggapan atau bahkan keyakinan sebagian besar masyarakat kita tentang hari baik dan hari buruk. Bukankah beberapa hari lagi sudah masuk bulan syuro (Muharrom) Tahun 1431 Hijriyah? Inilah masalahnya. Sebagian besar masyarakat kita masih menganggap bahwa bulan syuro adalah hari-hari yang tidak baik untuk punya keperluan yang dianggap penting. Hal itu karena adanya kekhawatiran dan ketakutan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (celaka) bila melanggar. Saya sendiri kurang tahu, siapa yang sebenarnya yang pertama kali menghembus-hembuskan anggapan yang akhirnya diyakini, bahwa hari-hari di bulan syuro adalah hari buruk dan menakutkan untuk mengadakan acara hajatan.
Kalo di dalam Islam, yang berkenaan dengan waktu atau hari, yang ada hanya waktu/hari baik dan baik sekali. Tidak ada istilah hari buruk atau waktu buruk. Apalagi jika berkenaan untuk mengerjakan sebuah amalan kebaikan seperti berdoa, dzikir, nikahkan anak, sunatan, sedekah dsb. Setiap saat dalam satu hari baik semua, tapi ada yang lebih baik, yakni sepertiga malam terakhir. Dalam 1 minggu juga demikian, semua hari baik semua, Ahad, Senin, Selasa, Rabu dan seterusnya, tetapi ada yang terbaik, yakni hari Jum'at. Juga dalam setahun, semua bulan baik semua, yang terbaik adalah bulan Ramadhan, kemudian 10 hari awal Dzulhijah, bulan Muharom, Sya'ban dan seterusnya. Yang ada hanyalah hari baik dan baik sekali, tidak ada yang buruk. Seperti kalo kita bertanya kepada orang yang baru nikah, katanya enaknya hanya 10%, sedangkan yang 90% uenak sekali. Enak kan ?
Bulan Syuro (Muharom) adalah satu di antara bulan-bulan haram yang dihormati dan bulan aman. Di bulan tersebut tidak boleh mengawali perang, mengganggu ibadah dsb. Mestinya orang senang beramal kebaikan di bulan itu, termasuk nikahkan anak, karena nikah termasuk ibadah. Tetapi kalo orang sudah tidak mau berpikir, hanya ikut-ikutan takut (mending ikut-ikutan senang), bahwa hal itu termasuk kesyirikan juga nggak terpikir. Atau bahkan tidak paham bahwa hal itu termasuk perkara yang membuat Allah Ta'ala murka dan bisa menghapus amal kebaikan yang pernah dilakukan. Sebagaimana kita semua tahu, kebanyakan masyakarat kita menyambut bulan Syuro ini pun masih banyak dengan amalan kesyirikan, di Solo dengan kerbau dan kotorannya, di Jogja dengan thawaf beteng mbisunya, dan berbagai bentuk kesyirikan nyata lainnya di tempat yang lain. Belum lagi syaitan yang menghembus-hembuskan bisikan bahwa semua itu adalah baik, warisan leluhur yang harus dilestarikan, budaya bangsa, aset wisata dan semancamnya. Suatu amalan yang sungguh konyol, sudah repot, keluar uang, tenaga tapi malah dapat murka dari Penguasa alam semesta. Sudah diberi yang mudah dan enak tidak mau, malah cari-cari masalah. Ya, itulah manusia, kebanyakan mereka tidak bersyukur dan tidak mau tunduk kepada Rabbnya.
Langganan:
Postingan (Atom)