Salah satu bukti keimanan seseorang adalah ketika masih ada semangat dalam dirinya untuk meneladani sunnah Rasulullah Saw dalam hidup sehari-hari. Ini merupakan perkara yang sangat penting, terlebih lagi bagi kalangan yang mengaku ahlus-sunnah. Dengan mengamalkan sunnah, seorang akan mendapatkan kenikmatan dan kesempurnaan hidup. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Anfal (8) ayat 24 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.
Ibnul Qoyim Rahimahullah menjelaskan ayat di atas bahwa pada masing-masing seruan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya terdapat bagian dari kenikmatan dan kesempurnaan hidup. Maka semakin banyak perintah Allah dan sunnah Rasul yang diamalkan yang terwujud pada diri seseorang, maka hidupnya akan semakin baik dan sempurna.
Imam Hasan Al-Bashri mengatakan, dahulu jika ada seorang penuntut ilmu hadits, maka akan terlihat pengaruh positif dalam dirinya untuk menjalani sunnah-sunnah Rasulullah yang telah dipelajarinya, hingga dalam hal sunnah-sunnah yang dianggap remeh, yakni apa yang sekedar disukai oleh Rasulullah Saw. Di dalam sebuah hadits yang shahih diriwayatkan ketika Putri Rasulullah Fathimah Az-Zahra r.ha. mengeluh tentang beratnya pekerjaan rumah tangganya, lalu dia bersama suaminya, yakni Sayidina Ali r.a mengadu kepada Rasulullah Saw. Oleh Rasulullah, mereka diajari sebuah amalan dzikir sebelum tidur yakni membaca Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahuakbar 33 kali, maka Insya Allah keesokan harinya segala kepayahan akan hilang, dan badan terasa pulih dan segar kembali. Setelah ini, Sayidina Ali r.a. senantiasa mengamalkan dzikir tersebut bahkan sampai pada waktu perang, yakni perang Shiffin yang sangat menyibukkan pun beliau tetap mengamalkan. Padahal sunnah ini hanyalah bersifat anjuran bukan perintah yang wajib.
Para shahabat Radhiallahu ‘anhum dan orang-orang yang utama selalu menjaga amalan-amalan sunnah sebagaimana mereka menjaga amalan-amalan wajib. Mereka tidak membeda-bedakan di antara amalan-amalan tersebut sekedar mencari alasan bahwa ini hanya sunnah, tidak wajib dilakukan. Dalam hal ini mereka berusaha mencari keutamaan, yakni kecintaan Allah Ta’ala kepada mereka. Sebagaimana dalam potongan sebuah hadits qudsi : … maa zaala abdii yataqarraba ilayya bi an-nawaafili hatta uhibbahu … (tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah /sunnah sehingga Aku mencintainya). Adapun adanya pembagian hukum dalam fiqih, ada wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram hanyalah sekedar untuk menjelaskan akibat yang ditimbulkan manakala amalan tersebut ditinggalkan.
Jangan sampai kita sebagaimana yang diceritakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tentang seorang penuntut ilmu yang belajar hingga tingkatan ilmu yang tinggi di bidang ushul fiqih. Ketika dibacakan kepadanya sebuah ayat atau hadits yang berisi perintah Allah dan Rasul-Nya, bukannya dia segera berusaha mengamalkan sekuat tenaga, akan tetapi malah bertanya “apakah perintah tersebut merupakan hal yang wajib atau sekedar anjuran ?” Menurut Syaikh Al-‘Utsaimin, ini merupakan akhlaq yang buruk terhadap al-hadits. Wal ‘iyadzu billah.
Sunnah dan pengamalannya merupakan sesuatu yang bersifat “dharuriy”, yakni sesuatu yang sangat dibutuhkan dan mendesak untuk diamalkan, terutama di zaman yang penuh fitnah sekarang ini. Kebutuhan seseorang terhadap sunnah Rasul melebihi dari kebutuhannya terhadap apa yang ada di dunia ini, karena dunia dan isinya ini jauh dari rahmat Allah (terlaknat) kecuali yang diterangi dengan risalah dan sunnah Rasulullah. Orang yang bersemangat mempelajari dan mengamalkan sunnah adalah orang yang istimewa. Al-Khatib Al-Baghdadi menyatakan tentang apa yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari pada zamannya, bahwa orang-orang yang bersemangat mempelajari, mencintai dan mengamalkan sunnah pada zaman beliau sangat sedikit, apalagi pada zaman sekarang. Sunnah itu semakin banyak orang yang meninggalkan, maka mengamalkannya akan semakin tinggi pahalanya.
Rasulullah Saw pernah menyerupakan peranan dan fungsi petunjuk dan sunnah beliau sebagaimana bintang-bintang di langit. Allah SWT menciptakan bintang-bintang di langit dengan tiga peranan, yakni sebagai hiasan bagi langit sehingga tampak indah, sebagai pelempar syaithon ketika akan mencuri berita dari langit dan sebagai petunjuk arah serta pertanda musim. Demikian pula sunnah-sunnah Rasulullah yang terwujud pada diri seorang muslim. Sunah-sunnah tersebut akan menghiasi dirinya dan kehidupannya yang penuh barokah, sunnah itu pun akan membentengi dirinya dari berbagai tipu daya syaithon dan akan menjadi petunjuk yang menuntunnya dalam menjalani kehidupan ini secara benar sesuai yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu mari kita pelajari sunnah Rasulullah, kita yakini kebenaran dan kebaikannya, kita amalkan, kita bela dan kita sampaikan kepada saudara kita sebanyak-banyaknya, agar hidup kita indah bak langit yang cerah penuh bintang, agar diri kita aman dari musuh sejati berupa syaithon dan agar kita menjadi pelita yang bisa menjadi asbab petunjuk buat orang lain.
Wallahu a’lam …
Ditulis kembali dari Dauroh dg Tema : Semangat Meneladani Sunnah
oleh Al-Ustadz Abdullah Taslim, Lc,MA
Rabu, 12 Agustus 2009
Rabu, 05 Agustus 2009
PENYESALAN ANAS BIN AN-NADHR
Imam Bukhari dam Muslim meriwayatkan yang bersumber dari Anas bin Malik yang menceritakan tentang pamannya yang bernama Anas bin An-Nadhr. Ketika itu perang Badar telah usai dengan kemenangan di tangan kaum muslimin. Anas bin An-Nadhr yang saat itu tidak ikut berangkat perang datang menemui Rasulullah Saw seraya berkata : “ Wahai Rasulullah, aku telah absen dari perang yang pertama dimana Engkau memerangi orang musyrik. Sungguh jika Allah mempertemukan aku dengan perang yang lain untuk melawan orang musyrik, benar-benar Dia akan melihat apa yang akan kulakukan. Maka tatkala perang Uhud, dimana kaum muslimin kocar-kacir meninggalkan tempat tugasnya, Anas bin An-Nadhr berkata : “Ya Allah, aku mintakan maaf atas apa yang diperbuat oleh para sahabatku, dan aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh orang-orang musyrik yang memerangi Rasul-Mu”. Kemudian dia melangkah maju ke medan pertempuran seorang diri. Saat itu dia bertemu dengan Sa’ad bin Muadz, lalu berkata : “Hai Sa’ad, demi Rabbku, aku mencium bau surga dari arah Uhud”. Ketika berjumpa dengan Rasulullah Sa’ad berkata : “Wahai Rasulullah, aku tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukan oleh Anas bin An-Nadhr”.
Di akhir perang Anas bin Malik bercerita : “Kami mendapatinya telah terbunuh dengan 80 lebih luka, baik dari pedang, tombak maupun anak panah. Tidak hanya itu, wajahnya pun telah dicincang oleh orang-orang musyrik, sampai-sampai tidak ada yang mampu mengenalinya lagi, kecuali saudara perempuannya melalui ciri dari ujung jarinya.
Anas bin An-Nadhr tidak ikut berangkat perang Badar karena memang pada saat itu Rasulullah Saw tidak mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk berangkat. Saat itu Rasulullah hanya hendak menghadang kafilah orang-orang musyrik. Akan tetapi hal ini telah membuat Anas bin An-Nadhr sangat menyesal, sehingga dia pun berjanji kepada Allah untuk berbuat yang lebih baik dan lebih hebat. Janji itu pun ditepatinya, sehingga para sahabat meyakini bahwa salah satu ayat Allah di Surat Al-Ahzab ayat 23 turun berkenan dengan Anas bin An-Nadhr :
“di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah … “
Subhanallah, betapa sebuah penyesalan saat tertinggal dari amal kebaikan ternyata mampu menumbuhkan motivasi yang kuat dan membuahkan tekad untuk menebus ketinggalannya. Bahkan untuk lebih meyakinkan, tekad tersebut kadang perlu diikrarkan sebagai sebuah janji hingga kepada Allah sekalipun. Masih jauh dari apa yang telah dijalani oleh Anas bin An-Nadhr, pernahkah kita merasa menyesal, merasa kehilangan, saat tertinggal dalam amalan-amalan kita, sementara saudara-saudara kita bisa dan mampu melakukannya ? Saat kita tertinggal dari sholat jama’ah, tilawah Al-Qur’an, mendatangi ta’lim, muraja’ah ilmu, hafalan, shodaqoh dan sebagainya. Apakah justru kita merasa tenang-tenang saja, kita merasa cukup dengan apa yang telah kita lakukan ? Kemudian kalaupun kita menyadari dan menyesali kekurangan kita, apakah hal itu mampu membangkitkan motivasi dan tekad untuk mengejar ketinggalan kita ? Motivasi adalah buah dari keyakinan yang disertai semangat dan rela berkorban. Inilah yang dimiliki oleh seorang Anas bin An-Nadhr, keyakinannya akan janji Allah berupa kenikmatan surga telah menumbuhkan semangat untuk meraihnya sekalipun dia harus mengorbankan dirinya di jalan Allah. Dan inilah yang mestinya dimiliki oleh setiap muslim. Bagaimana ilmu dien yang telah dimiliki mampu menumbuhkan keyakinan, sehingga bisa menyalakan tekad dan semangat untuk mengamalkannya.
Memang, seorang mukmin adalah orang yang selalu berusaha menepati dan menyempurnakan janji dan tekadnya, walaupun seringkali terasa berat atas dirinya, bahkan hingga dia harus berpayah-payah, berkorban untuk melakukannya demi mencari keridhoan Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Maidah ayat 1 :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.
Syaikh As-Sa’diy Rahimahullah menerangkan bahwa aqad (perjanjian) yang harus disempurnakan di sini meliputi janji seorang hamba kepada Allah untuk senantiasa mengibadahi-Nya dengan setegak-tegaknya tanpa mengurangi hak Allah sedikitpun. Kemudian janji kepada Rasulullah Saw untuk menta’ati dan ittiba’ kepada beliau, janji kepada kedua orang tua dan kerabat untuk selalu menyambung tali silaturahim, janji kepada istri atau suami untuk saling menunaikan hak masing-masing, dalam keadaan senang maupun susah, kaya atau miskin, serta janji kepada sesama manusia dalam pergaulan bermuamalat.
Di sinilah dibutuhkan mujahadah dan kesungguhan. Dan sesuatu yang diraih dengan kesungguhan, mujahadah, dan kesabaran akan tumbuh rasa cinta kepada yang diraihnya. Akan tumbuh pada dirinya rasa cinta kepada Allah SWT, kepada Rasulullah Saw, kepada orang tua serta kerabatnya, kepada istri dan anak-anaknya. Semakin bertambah mujahadahnya, maka dia akan semakin sayang dengan apa yang telah diraihnya dalam amal kebaikannya, dia senantiasa ingin menambahnya, takut berkurang apalagi kehilangan darinya.
Wallahu a’lam bi ash-showwab.
Di akhir perang Anas bin Malik bercerita : “Kami mendapatinya telah terbunuh dengan 80 lebih luka, baik dari pedang, tombak maupun anak panah. Tidak hanya itu, wajahnya pun telah dicincang oleh orang-orang musyrik, sampai-sampai tidak ada yang mampu mengenalinya lagi, kecuali saudara perempuannya melalui ciri dari ujung jarinya.
Anas bin An-Nadhr tidak ikut berangkat perang Badar karena memang pada saat itu Rasulullah Saw tidak mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk berangkat. Saat itu Rasulullah hanya hendak menghadang kafilah orang-orang musyrik. Akan tetapi hal ini telah membuat Anas bin An-Nadhr sangat menyesal, sehingga dia pun berjanji kepada Allah untuk berbuat yang lebih baik dan lebih hebat. Janji itu pun ditepatinya, sehingga para sahabat meyakini bahwa salah satu ayat Allah di Surat Al-Ahzab ayat 23 turun berkenan dengan Anas bin An-Nadhr :
“di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah … “
Subhanallah, betapa sebuah penyesalan saat tertinggal dari amal kebaikan ternyata mampu menumbuhkan motivasi yang kuat dan membuahkan tekad untuk menebus ketinggalannya. Bahkan untuk lebih meyakinkan, tekad tersebut kadang perlu diikrarkan sebagai sebuah janji hingga kepada Allah sekalipun. Masih jauh dari apa yang telah dijalani oleh Anas bin An-Nadhr, pernahkah kita merasa menyesal, merasa kehilangan, saat tertinggal dalam amalan-amalan kita, sementara saudara-saudara kita bisa dan mampu melakukannya ? Saat kita tertinggal dari sholat jama’ah, tilawah Al-Qur’an, mendatangi ta’lim, muraja’ah ilmu, hafalan, shodaqoh dan sebagainya. Apakah justru kita merasa tenang-tenang saja, kita merasa cukup dengan apa yang telah kita lakukan ? Kemudian kalaupun kita menyadari dan menyesali kekurangan kita, apakah hal itu mampu membangkitkan motivasi dan tekad untuk mengejar ketinggalan kita ? Motivasi adalah buah dari keyakinan yang disertai semangat dan rela berkorban. Inilah yang dimiliki oleh seorang Anas bin An-Nadhr, keyakinannya akan janji Allah berupa kenikmatan surga telah menumbuhkan semangat untuk meraihnya sekalipun dia harus mengorbankan dirinya di jalan Allah. Dan inilah yang mestinya dimiliki oleh setiap muslim. Bagaimana ilmu dien yang telah dimiliki mampu menumbuhkan keyakinan, sehingga bisa menyalakan tekad dan semangat untuk mengamalkannya.
Memang, seorang mukmin adalah orang yang selalu berusaha menepati dan menyempurnakan janji dan tekadnya, walaupun seringkali terasa berat atas dirinya, bahkan hingga dia harus berpayah-payah, berkorban untuk melakukannya demi mencari keridhoan Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Maidah ayat 1 :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.
Syaikh As-Sa’diy Rahimahullah menerangkan bahwa aqad (perjanjian) yang harus disempurnakan di sini meliputi janji seorang hamba kepada Allah untuk senantiasa mengibadahi-Nya dengan setegak-tegaknya tanpa mengurangi hak Allah sedikitpun. Kemudian janji kepada Rasulullah Saw untuk menta’ati dan ittiba’ kepada beliau, janji kepada kedua orang tua dan kerabat untuk selalu menyambung tali silaturahim, janji kepada istri atau suami untuk saling menunaikan hak masing-masing, dalam keadaan senang maupun susah, kaya atau miskin, serta janji kepada sesama manusia dalam pergaulan bermuamalat.
Di sinilah dibutuhkan mujahadah dan kesungguhan. Dan sesuatu yang diraih dengan kesungguhan, mujahadah, dan kesabaran akan tumbuh rasa cinta kepada yang diraihnya. Akan tumbuh pada dirinya rasa cinta kepada Allah SWT, kepada Rasulullah Saw, kepada orang tua serta kerabatnya, kepada istri dan anak-anaknya. Semakin bertambah mujahadahnya, maka dia akan semakin sayang dengan apa yang telah diraihnya dalam amal kebaikannya, dia senantiasa ingin menambahnya, takut berkurang apalagi kehilangan darinya.
Wallahu a’lam bi ash-showwab.
Langganan:
Postingan (Atom)