Jumat, 23 Oktober 2009

Islam itu Mudah


Allah Azza wa Jalla telah berfirman yang "Artinya : “Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah. [QS. Thaahaa: 2-4]. Memang Islam datang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia sehingga hidup menjadi benar, baik dan penuh manfaat. Sebagai jalan hidup, Islam adalah agama yang mudah dijalani, sebagaimana sabda Nabi : “Addiinu yusrun” (Dien Al Islam itu mudah). Sebagai contoh tentang beberapa kemudahan Islam antara lain :

1. Menuntut ilmu syar’i, mengaji belajar Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah mudah. Kita dapat belajar menurut kemampuan kita, setiap hari atau sepekan dua kali, di sela-sela waktu kita yang sangat luang.

2. Mentauhidkan Allah dan beribadah hanya kepada-Nya adalah mudah dan murah. Tidak perlu syarat, perantara, sesaji yang macam-macam seperti yang dilakukan pada setiap acara kesyirikan dan bid’ah.

3. Melaksanakan Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mudah, seperti memanjangkan jenggot, memakai pakaian di atas mata kaki, dan lainnya. Sebaliknya melakukan bid’ah adalah sulit, repot, harus mengerjakan macam-macam yang tidak ada tuntunannya dari syariat. Sudah repot, keluar uang, amalnya tidak diterima oleh Allah, bahkan mendapat dosa.

4. Shalat hanya diwajibkan 5 waktu dalam 24 jam. Orang yang khusyu’ dalam shalatnya, paling lama 15 menit, berarti dalam sehari dia hanya menggunakan waktu 75 menit untuk sholat dari total waktu 24 x 60 menit. Masih banyak waktu tersisa untuk pekerjaan yang lain.

5. Orang sakit boleh sholat sambil duduk atau berbaring jika tidak mampu berdiri, bahkan dengan isyarat jika memang mampunya hanya itu.

6. Jika tidak ada air (untuk bersuci), maka dibolehkan tayammum dengan tanah atau debu yang menempel di dinding, meja, kursi dll.

7. Jika terkena najis, hanya diwajibkan mencuci bagian yang terkena najis saja, (agama lain harus menggunting pakaian tersebut dan dibuang).

8. bagi musafir disunnahkan mengqashar (meringkas) shalat dan boleh menjama’ (menggabung) dua shalat apabila dibutuhkan, seperti shalat Zhuhur dengan ‘Ashar, dan Maghrib dengan ‘Isya'.

9. Seluruh permukaan bumi ini bisa dijadikan untuk tempat shalat dan boleh dipakai untuk bersuci (tayammum).

10. Puasa hanya wajib selama satu bulan, yaitu pada bulan Ramadlan setahun sekali. Itu pun malamnya kita berbuka, boleh makan, minum, kumpul suami istri. Tidak seperti puasanya umat terdahulu (puasa wishol), juga puasanya orang syirik (puasa ngebleng), sudah lapar, lemes, dapat dosa.

11. Orang sakit dan musafir boleh tidak berpuasa asal ia mengganti puasa pada hari yang lain, demikian juga orang yang nifas dan haidh.

12. Orang yang sudah tua renta, perempuan hamil dan menyusui apabila tidak mampu boleh tidak berpuasa, dengan menggantinya dalam bentuk fidyah.

13. Zakat hanya wajib dikeluarkan sekali setahun, itu pun bila sudah sampai nishab (batasan minimal harta yang kena zakat) dan haul (telah dimiliki selama 1 tahun).

14. Haji hanya wajib sekali seumur hidup. Barangsiapa yang ingin menambah, maka itu hanyalah sunnah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya oleh al-Aqra’ bin Habis tentang berapa kali haji harus ditunaikan, apakah harus setiap tahun ataukah hanya cukup sekali seumur hidup? Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.

"Artinya : “Haji itu (wajibnya) satu kali, barangsiapa yang ingin menambah, maka itu sunnah”

15. Memakai jilbab sesuai dengan syari’at Islam itu mudah dan tidak berat bagi muslimah,, apalagi di zaman sekarang, tidak ada lagi ancaman-ancaman.


Itulah beberapa bukti bahwa melaksanakan Islam secara benar itu mudah dan murah, sesuai kemampuan kita. Karena Allah SWT sebagai pembuat syariat tidak membebani seorang hamba kecuali menurut kemampuannya. Semoga hati kita diberi taufiq oleh Allah Ta’ala, sehingga dengan merasa ringan dan mudah, kita bisa menjalani Islam dengan sebaik-baiknya.



Jumat, 16 Oktober 2009

Ikatan

Ketika mengeringkan sebuah papan kayu, seringkali kita mendapati kayu tersebut menjadi menyusut, melengkung, kadang-kadang pecah, muntir dan sebagainya. Hal ini terjadi akibat dari perilaku air yang berada di dalam kayu. Keberadaan air di dalam kayu ada 2 macam kondisi, yakni sebagai air bebas dan air terikat. Disebut air bebas karena air ini berada di ruang yang bebas yang tidak terikat dengan bagian zat kayu, yakni di dalam rongga sel kayu. Sedangkan air terikat terdapat secara menyatu di dalam dinding sel kayu yang saling berikatan.
Saat mengeringkan kayu dari keadaan basah, air yang keluar terlebih dahulu dari kayu adalah air bebas dari rongga sel. Air ini dengan mudah bisa keluar tanpa banyak menimbulkan dampak pada papan kayu, apalagi jika kayunya termasuk kayu yang porous (ringan), banyak porinya. Hal ini terus berlangsung sampai seluruh air di dalam rongga sel keluar. Apabila proses pengeringan dilanjutkan, maka tinggal air terikat yang belum keluar. Air ini akan keluar lebih lambat dan lebih sulit daripada air bebas. Pengeluaran air terikat inilah yang akan menimbulkan beberapa dampak kerusakan pada kayu, seperti penyusutan, melengkung, pecah, muntir dll sebagai konsekuensi bahwa kayu merupakan material organik yang relative tidak stabil, mudah dipengaruhi lingkungan. Semakin kuat ikatan antar elemen air dan dinding sel kayu, maka kemungkinan kerusakan yang ditimbulkan akan semakin besar.

Dalam kehidupan sosial filosofi ini pun berlaku. Di antara manusia yang kita temui di jalan, ketemu di pasar, di terminal, banyak yang tidak kita kenal. Sering kita terlibat hubungan muamalah dengan orang lain yang tidak kita kenal, seperti dalam jual beli, ngurus surat di kantor, tanya alamat rumah dan lain-lain. Dalam hubungan itu kita tidak ada hubungan emosional dengan orang-orang tersebut. Ketika akad sudah disepakati ya sudah, terus berpisah. Tidak ada perasaan yang mengganjal, tidak enak, maupun sedih tatkala kita selesai dengan urusan-urusan tersebut. Bahkan seringkali hati kita merasa senang, lega dan plong ketika berpisah dengan orang-orang tersebut. Hal ini karena memang kita tidak memiliki hubungan ikatan ”emosional” dengan mereka.
Di sisi yang lain kita memiliki hubungan dengan teman, tetangga, mitra kerja, istri, anak, orang tua, keluarga besar, bahkan dengan Allah, Tuhan sesembahan kita. Masing-masing pihak tersebut memiliki tingkat ikatan yang berbeda-beda dengan kita sesuai dengan tingkat kepentingan dan ketergantungan kita kepadanya. Apabila sesuatu hal mengganggu hubungan kita dengan salah satu pihak tersebut, lalu kita hanya menuruti kemauan hawa nafsu atas nama hak asasi, kebebasan berekspresi dan semacamnya, yang akhirnya kita putus hubungan dengan mereka, pasti akan muncul dampak akibat yang menyakitkan. Akibat ini pun juga akan berbeda tingkat sakit dan penderitaan yang kita rasakan, mulai dari sekedar pekewuh, malu, dikucilkan tetangga, kehilangan teman, kehilangan pekerjaan dan penghasilan, kehilangan istri, terusir dari rumah, hingga sakit penderitaan fisik bahkan penderitaan sampai di akhirat kelak selama-lamanya.
Dalam hukum positif di masyarakat, bahkan dalam agama pun kita diperintahkan untuk selalu menjalin hubungan baik dengan orang lain sesuai dengan tingkat haknya kepada kita. Kepada kedua orang tua, keluarga, tetangga, teman dan sebagainya. Allah Ta’ala berfirman :

Artinya : ” sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (QS. An-Nisaa’ : 36)


Menurut ayat di atas jelas bahwa yang harus disempurnakan nomor satu adalah ikatan kita dengan Allah Ta’ala, karena manusia sangat bergantung kepada-Nya, Allahu Ash-Shomad. Dan jika ikatan ini buruk, atau bahkan rusak karena Allah disekutukan, maka akibat buruk akan menimpa manusia selama-selamanya di akhirat. Kemudian pihak-pihak yang disebutkan selanjutnya dalam ayat di atas adalah sesuai dengan urutan prioritas penunaian hak, sesuai dengan tingkat ikatan kita kepada mereka yang dimulai dari kedua orang tua dan seterusnya.
Sebaliknya kita diperingatkan dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak hubungan kita dengan orang lain, terutama dengan sesama muslim. Dalam sebuah hadits disebutkan :
وعن أنسٍ رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تباغضوا، ولا تحاسدوا، ولا تدابروا، ولا تقاطعوا، وكونوا عباد الله إخواناً، …متفقٌ عليه.
Artinya : Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi Shalallahu ’alaihi wa salam bersabda : janganlah kalian saling marah, dan janganlah saling hasad, dan jangan saling membelakangi (jothakan = jawa), dan jangan saling memutus hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara (karena iman).... HR. Bukhari-Muslim

Nah, karena itu mari kita senantiasa menjaga dan kita perbaiki hubungan kita kepada Allah Ta’ala, kepada orang tua, keluarga, tetangga, sahabat, dan lain-lain agar hidup kita tenang, tenteram, bahagia dan selamat fiidunya wal akhirah. Amiiin

Wallahu a’lam...


Jumat, 02 Oktober 2009

Kaya adalah Ujian

Qarun adalah seseorang yang hidup pada masa Nabi Musa Alaihissalam, yakni anak salah seorang paman Beliau. Dia termasuk orang yang diberi harta kekayaan berlimpah oleh Allah SWT, namun dia bertindak melampaui batas dengan kekayaannya tersebut. Orang-orang yang baik dari kalangan kaumnya telah memperingatkannya untuk tidak berbangga-bangga dengan hartanya karena Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri. Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy menjelaskan, dengan harta yang diberikan Allah, hendaklah dia mencari kebahagiaan akhirat dengan berbuat kebaikan dengan cara bershodaqoh dan berinfaq di jalan Allah SWT. Tetapi Qarun telah berkeyakinan akan mencapai kebahagiaan dengannya, dia tidak berbuat baik kepada orang lain dan berbuat kerusakan di muka bumi dengan tidak mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika diperingatkan oleh kaumnya, dia justru berkata :

"Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya sungguh Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya, dan lebih banyak hartanya? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. Al- Al-Qashash (28): 78)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy menjelaskan : Qarun berpendapat bahwa dia memperoleh harta karena hasil usahanya, kepintarannya atau ilmu dari Allah tentang dirinya, Dia tahu bahwa Qarun ahli dalam hal mencari harta. Maka dia pun menolak nasihat kaumnya tentang apa yang telah Allah berikan padanya. Kemudian Allah menjelaskan bahwa ketika Dia memberikan rezeki kepada seseorang (dalam hal ini Qarun), hal itu bukanlah menunjukkan atas kebaikan keadaan orang yang diberi. Allah pun memperingatkan tentang akibat yang diterima umat-umat terdahulu tatkala mereka durhaka kepada Allah, yakni mereka dibinasakan oleh Allah, padahal mereka lebih besar kekuatannya dan lebih banyak harta kekayaannya daripada Qarun. Firman Allah :
… dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.
Maksudnya adalah ketika seseorang telah demikian banyak dosanya dari kesyirikan dan kemaksiatan yang telah diperbuatnya, maka telah jelaslah siksa Allah atas dirinya. Mereka akan masuk ke dalam neraka tanpa perlu ditanya dan dihisab.
Pada suatu hari Qarun keluar kepada kaumnya dengan membawa perhiasannya berupa pakaian kebesaran yang indah dan kendaraan yang bagus. Syaikh As-Sa’diy mengatakan bahwa perhiasan yang dibawa Qarun mencakup berbagai harta dunia yang dimilikinya. Melihat itu, orang-orang yang menginginkan dunia berkata sambil berangan-angan :
“Seandainya kami memiliki harta dan perhiasan seperti apa yang diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".

Sementara itu orang-orang yang berilmu berkata : “Celakalah kalian, pahala di sisi Allah lebih baik bagi orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar (dalam iman dan taqwa)". (QS. Al- Al-Qashash (28): 80)

Syaikh As-Sa’diy mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang menahan diri dalam melakukan ketaatan, dari maksiat dan dari takdir Allah yang buruk. Mereka juga menahan diri/bersabar dari perhiasan dunia yang banyak melalaikan dari Tuhannya. Mereka itulah orang yang mengutamakan pahala Allah di atas dunia yang fana ini.
Karena kedurhakaannya, Allah pun menghukum Qarun dengan cara membenamkannya beserta rumah dan isinyanya ke dalam bumi. Maka tidak ada suatu golongan pun yang mampu menolongnya dari siksa Allah, dan dia tidaklah dia termasuk orang yang dapat membela diri. Syaikh As-Sa’diy mengatakan bahwa bentuk balasan tergantung dari jenis amalnya, maka sebagaimana Qarun telah mengangap dirinya lebih tinggi dari hamba Allah yang lain, Allah pun menurunkannya ke dalam kedudukan yang serendah-rendahnya. Tatkala melihat Qarun di adzab Allah, menjadi sadarlah orang-orang yang dahulu menginginkan kedudukan Qarun. Mereka menyadari bahwa Allahlah yang melapangkan atau menyempitkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, tidak akan pernah beruntung orang-orang yang mengingkari nikmat Allah.


Beberapa pelajaran dari kisah Qarun :
  1. Harta dan kedudukan yang tinggi akan menyebabkan kehancuran seseorang, kecuali bagi orang yang dikasihi Allah Ta’ala, tetapi amat sedikit orang yang seperti ini.
  2. Haramnya gembira dan bangga dengan harta dan kedudukan, ketika hal itu mengarah kepada kesombongan yang merendahkan orang lain.
  3. Termasuk karunia Allah kepada seseorang adalah ketika ada orang-orang yang berilmu yang mau menasihati dan menunjuki kepada kebenaran
  4. Bolehnya makan, minum dan berpakaian yang baik, punya kendaraan yang nyaman, rumah yang nyaman tanpa berlebihan dan kesombongan.
  5. Fitnah lebih cepat menimpa kepada hatinya orang-orang yang sangat condong pada kebesaran dan ketinggian dunia.
  6. Penjelasan tentang keutamaan ahli ilmu dien yang menunjuki, menghukumi dengan syariat Allah, memerintahkan yang makruf dan mencegah dari yang munkar.
  7. Orang yang melampaui batas akan dicicipkan siksa di dunia dan akan dilanjutkan diadzab di akhirat.

Rabu, 12 Agustus 2009

Teladani Sunnah Nabi

Salah satu bukti keimanan seseorang adalah ketika masih ada semangat dalam dirinya untuk meneladani sunnah Rasulullah Saw dalam hidup sehari-hari. Ini merupakan perkara yang sangat penting, terlebih lagi bagi kalangan yang mengaku ahlus-sunnah. Dengan mengamalkan sunnah, seorang akan mendapatkan kenikmatan dan kesempurnaan hidup. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Anfal (8) ayat 24 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.
Ibnul Qoyim Rahimahullah menjelaskan ayat di atas bahwa pada masing-masing seruan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya terdapat bagian dari kenikmatan dan kesempurnaan hidup. Maka semakin banyak perintah Allah dan sunnah Rasul yang diamalkan yang terwujud pada diri seseorang, maka hidupnya akan semakin baik dan sempurna.

Imam Hasan Al-Bashri mengatakan, dahulu jika ada seorang penuntut ilmu hadits, maka akan terlihat pengaruh positif dalam dirinya untuk menjalani sunnah-sunnah Rasulullah yang telah dipelajarinya, hingga dalam hal sunnah-sunnah yang dianggap remeh, yakni apa yang sekedar disukai oleh Rasulullah Saw. Di dalam sebuah hadits yang shahih diriwayatkan ketika Putri Rasulullah Fathimah Az-Zahra r.ha. mengeluh tentang beratnya pekerjaan rumah tangganya, lalu dia bersama suaminya, yakni Sayidina Ali r.a mengadu kepada Rasulullah Saw. Oleh Rasulullah, mereka diajari sebuah amalan dzikir sebelum tidur yakni membaca Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahuakbar 33 kali, maka Insya Allah keesokan harinya segala kepayahan akan hilang, dan badan terasa pulih dan segar kembali. Setelah ini, Sayidina Ali r.a. senantiasa mengamalkan dzikir tersebut bahkan sampai pada waktu perang, yakni perang Shiffin yang sangat menyibukkan pun beliau tetap mengamalkan. Padahal sunnah ini hanyalah bersifat anjuran bukan perintah yang wajib.

Para shahabat Radhiallahu ‘anhum dan orang-orang yang utama selalu menjaga amalan-amalan sunnah sebagaimana mereka menjaga amalan-amalan wajib. Mereka tidak membeda-bedakan di antara amalan-amalan tersebut sekedar mencari alasan bahwa ini hanya sunnah, tidak wajib dilakukan. Dalam hal ini mereka berusaha mencari keutamaan, yakni kecintaan Allah Ta’ala kepada mereka. Sebagaimana dalam potongan sebuah hadits qudsi : … maa zaala abdii yataqarraba ilayya bi an-nawaafili hatta uhibbahu … (tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah /sunnah sehingga Aku mencintainya). Adapun adanya pembagian hukum dalam fiqih, ada wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram hanyalah sekedar untuk menjelaskan akibat yang ditimbulkan manakala amalan tersebut ditinggalkan.
Jangan sampai kita sebagaimana yang diceritakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tentang seorang penuntut ilmu yang belajar hingga tingkatan ilmu yang tinggi di bidang ushul fiqih. Ketika dibacakan kepadanya sebuah ayat atau hadits yang berisi perintah Allah dan Rasul-Nya, bukannya dia segera berusaha mengamalkan sekuat tenaga, akan tetapi malah bertanya “apakah perintah tersebut merupakan hal yang wajib atau sekedar anjuran ?” Menurut Syaikh Al-‘Utsaimin, ini merupakan akhlaq yang buruk terhadap al-hadits. Wal ‘iyadzu billah.

Sunnah dan pengamalannya merupakan sesuatu yang bersifat “dharuriy”, yakni sesuatu yang sangat dibutuhkan dan mendesak untuk diamalkan, terutama di zaman yang penuh fitnah sekarang ini. Kebutuhan seseorang terhadap sunnah Rasul melebihi dari kebutuhannya terhadap apa yang ada di dunia ini, karena dunia dan isinya ini jauh dari rahmat Allah (terlaknat) kecuali yang diterangi dengan risalah dan sunnah Rasulullah. Orang yang bersemangat mempelajari dan mengamalkan sunnah adalah orang yang istimewa. Al-Khatib Al-Baghdadi menyatakan tentang apa yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari pada zamannya, bahwa orang-orang yang bersemangat mempelajari, mencintai dan mengamalkan sunnah pada zaman beliau sangat sedikit, apalagi pada zaman sekarang. Sunnah itu semakin banyak orang yang meninggalkan, maka mengamalkannya akan semakin tinggi pahalanya.

Rasulullah Saw pernah menyerupakan peranan dan fungsi petunjuk dan sunnah beliau sebagaimana bintang-bintang di langit. Allah SWT menciptakan bintang-bintang di langit dengan tiga peranan, yakni sebagai hiasan bagi langit sehingga tampak indah, sebagai pelempar syaithon ketika akan mencuri berita dari langit dan sebagai petunjuk arah serta pertanda musim. Demikian pula sunnah-sunnah Rasulullah yang terwujud pada diri seorang muslim. Sunah-sunnah tersebut akan menghiasi dirinya dan kehidupannya yang penuh barokah, sunnah itu pun akan membentengi dirinya dari berbagai tipu daya syaithon dan akan menjadi petunjuk yang menuntunnya dalam menjalani kehidupan ini secara benar sesuai yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu mari kita pelajari sunnah Rasulullah, kita yakini kebenaran dan kebaikannya, kita amalkan, kita bela dan kita sampaikan kepada saudara kita sebanyak-banyaknya, agar hidup kita indah bak langit yang cerah penuh bintang, agar diri kita aman dari musuh sejati berupa syaithon dan agar kita menjadi pelita yang bisa menjadi asbab petunjuk buat orang lain.

Wallahu a’lam …


Ditulis kembali dari Dauroh dg Tema :
Semangat Meneladani Sunnah
oleh Al-Ustadz Abdullah Taslim, Lc,MA


Rabu, 05 Agustus 2009

PENYESALAN ANAS BIN AN-NADHR

Imam Bukhari dam Muslim meriwayatkan yang bersumber dari Anas bin Malik yang menceritakan tentang pamannya yang bernama Anas bin An-Nadhr. Ketika itu perang Badar telah usai dengan kemenangan di tangan kaum muslimin. Anas bin An-Nadhr yang saat itu tidak ikut berangkat perang datang menemui Rasulullah Saw seraya berkata : “ Wahai Rasulullah, aku telah absen dari perang yang pertama dimana Engkau memerangi orang musyrik. Sungguh jika Allah mempertemukan aku dengan perang yang lain untuk melawan orang musyrik, benar-benar Dia akan melihat apa yang akan kulakukan. Maka tatkala perang Uhud, dimana kaum muslimin kocar-kacir meninggalkan tempat tugasnya, Anas bin An-Nadhr berkata : “Ya Allah, aku mintakan maaf atas apa yang diperbuat oleh para sahabatku, dan aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh orang-orang musyrik yang memerangi Rasul-Mu”. Kemudian dia melangkah maju ke medan pertempuran seorang diri. Saat itu dia bertemu dengan Sa’ad bin Muadz, lalu berkata : “Hai Sa’ad, demi Rabbku, aku mencium bau surga dari arah Uhud”. Ketika berjumpa dengan Rasulullah Sa’ad berkata : “Wahai Rasulullah, aku tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukan oleh Anas bin An-Nadhr”.
Di akhir perang Anas bin Malik bercerita : “Kami mendapatinya telah terbunuh dengan 80 lebih luka, baik dari pedang, tombak maupun anak panah. Tidak hanya itu, wajahnya pun telah dicincang oleh orang-orang musyrik, sampai-sampai tidak ada yang mampu mengenalinya lagi, kecuali saudara perempuannya melalui ciri dari ujung jarinya.
Anas bin An-Nadhr tidak ikut berangkat perang Badar karena memang pada saat itu Rasulullah Saw tidak mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk berangkat. Saat itu Rasulullah hanya hendak menghadang kafilah orang-orang musyrik. Akan tetapi hal ini telah membuat Anas bin An-Nadhr sangat menyesal, sehingga dia pun berjanji kepada Allah untuk berbuat yang lebih baik dan lebih hebat. Janji itu pun ditepatinya, sehingga para sahabat meyakini bahwa salah satu ayat Allah di Surat Al-Ahzab ayat 23 turun berkenan dengan Anas bin An-Nadhr :
“di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah … “
Subhanallah, betapa sebuah penyesalan saat tertinggal dari amal kebaikan ternyata mampu menumbuhkan motivasi yang kuat dan membuahkan tekad untuk menebus ketinggalannya. Bahkan untuk lebih meyakinkan, tekad tersebut kadang perlu diikrarkan sebagai sebuah janji hingga kepada Allah sekalipun. Masih jauh dari apa yang telah dijalani oleh Anas bin An-Nadhr, pernahkah kita merasa menyesal, merasa kehilangan, saat tertinggal dalam amalan-amalan kita, sementara saudara-saudara kita bisa dan mampu melakukannya ? Saat kita tertinggal dari sholat jama’ah, tilawah Al-Qur’an, mendatangi ta’lim, muraja’ah ilmu, hafalan, shodaqoh dan sebagainya. Apakah justru kita merasa tenang-tenang saja, kita merasa cukup dengan apa yang telah kita lakukan ? Kemudian kalaupun kita menyadari dan menyesali kekurangan kita, apakah hal itu mampu membangkitkan motivasi dan tekad untuk mengejar ketinggalan kita ? Motivasi adalah buah dari keyakinan yang disertai semangat dan rela berkorban. Inilah yang dimiliki oleh seorang Anas bin An-Nadhr, keyakinannya akan janji Allah berupa kenikmatan surga telah menumbuhkan semangat untuk meraihnya sekalipun dia harus mengorbankan dirinya di jalan Allah. Dan inilah yang mestinya dimiliki oleh setiap muslim. Bagaimana ilmu dien yang telah dimiliki mampu menumbuhkan keyakinan, sehingga bisa menyalakan tekad dan semangat untuk mengamalkannya.
Memang, seorang mukmin adalah orang yang selalu berusaha menepati dan menyempurnakan janji dan tekadnya, walaupun seringkali terasa berat atas dirinya, bahkan hingga dia harus berpayah-payah, berkorban untuk melakukannya demi mencari keridhoan Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Maidah ayat 1 :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.
Syaikh As-Sa’diy Rahimahullah menerangkan bahwa aqad (perjanjian) yang harus disempurnakan di sini meliputi janji seorang hamba kepada Allah untuk senantiasa mengibadahi-Nya dengan setegak-tegaknya tanpa mengurangi hak Allah sedikitpun. Kemudian janji kepada Rasulullah Saw untuk menta’ati dan ittiba’ kepada beliau, janji kepada kedua orang tua dan kerabat untuk selalu menyambung tali silaturahim, janji kepada istri atau suami untuk saling menunaikan hak masing-masing, dalam keadaan senang maupun susah, kaya atau miskin, serta janji kepada sesama manusia dalam pergaulan bermuamalat.
Di sinilah dibutuhkan mujahadah dan kesungguhan. Dan sesuatu yang diraih dengan kesungguhan, mujahadah, dan kesabaran akan tumbuh rasa cinta kepada yang diraihnya. Akan tumbuh pada dirinya rasa cinta kepada Allah SWT, kepada Rasulullah Saw, kepada orang tua serta kerabatnya, kepada istri dan anak-anaknya. Semakin bertambah mujahadahnya, maka dia akan semakin sayang dengan apa yang telah diraihnya dalam amal kebaikannya, dia senantiasa ingin menambahnya, takut berkurang apalagi kehilangan darinya.
Wallahu a’lam bi ash-showwab.


Rabu, 22 Juli 2009

Memilih yang Terbaik

“ Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. (Yakni) orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar : 17 – 18)Pada ayat di atas, untuk mendapatkan kabar gembira (busyro) berupa surga yang penuh kenikmatan, seseorang harus mendapat petunjuk/hidayah dari Allah dan menjadi seorang ulul albab. Kemudian untuk bisa mendapatkan hidayah dari Allah dan menjadi seorang ulul albab, paling tidak seseorang harus memiliki 3 sifat pada dirinya, yakni :
1.Menjauhi thaghut dengan tidak menyembahnya.
Yakni meninggalkan penghambaan dan peribadahan kepada berhala dan selainnya dari apa yang disembah manusia selain Allah. Sedangkan menurut As-Sa’di, peringatan ini merupakan penjagaan yang paling baik dari Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui terhadap hamba-Nya yang dikasihi. Allah menjaganya dari kesyirikan, dosa terbesar yang tidak akan terampuni yang menyebabkan pelakunay kekal di dlam neraka. Allah Ta’ala telah berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisaa’ : 48 dan 116).

2.Kembali kepada Allah
Yakni kembali bertaubat kepada Allah dengan mengarahkan ibadahnya murni hanya kepada-Nya. Dia berpaling dari penghambaan terhadap berhala kepada penghambaan terhadap Allah, berpaling dari kesyirikan dan kemaksiatan kepada tauhid dan ketaatan. Memang, sebagai manusia seringkali kita berbuat salah dan dosa, baik pelanggaran terhadap hak Allah maupun hak sesama saudara kita. Akan tetapi sebaik-sebaik orang yang berbuat salah dan dosa adalah orang yang mau kembali kepada Allah Ta’ala, kembali kepada bimbingan-Nya melalui Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah Saw pernah bersabda : Kullubnu aadam khatha’. Wa khairul khathaaina at- tawwaabuun. (Setiap anak Adam pernah berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah di antara kita adalah yang mau bertaubat).

3.Memilih yang terbaik
Di dalam ayat 18 dari Surat Az-Zumar tersebut, bahwa orang-orang yang akan mendapat kabar gembira adalah mereka yang mendengarkan perkataan-perkataan, lalu mereka mengikuti yang terbaik dari berbagai perkataan tersebut. Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud Al Qaul di sini adalah mencakup semua jenis perkataan. Mereka mendengarkan berbagai jenis omongan/komentar, lalu dengan akalnya yang sehat dan kokoh mereka mampu membedakan mana yang pantas diikuti dan mana yang harus dijauhi. Dengan kekokohan akal mereka, mereka ikuti yang terbaik, yakni Kalamullah (Al Qur’an) dan Kalamurrasul (Sunnah Rasulullah Saw).
Sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat, kita seringkali mendengar berbagai perdebatan, baik dalam masalah keyakinan/ideologi, sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, hingga masalah bencana alam. Masing-masing orang memberikan pendapat dan berkomentar menurut pemahamannya, bahwa yang terbaik adalah begini. Orang yang lain mengatakan pilih ini saja, ini lebih bagus, dan seterusnya. Setiap kelompok dengan tokohnya masing-masing merasa punya pendapat yang paling benar untuk mengatasi persoalan yang ada.
Seseorang yang memiliki akal yang kokoh dan sehat, yakni seorang ulul albab, dia akan mampu mengenali yang paling baik dari yang lainnya. Dia selalu mengikuti yang terbaik dari perkataan-perkataan yang ada. Dia selalu berpedoman bahwa : ”Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Saw...”
Dengan demikian seorang ulul albab (orang yang akalnya sehat) adalah orang yang senantiasa belajar Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sehingga dia memahaminya dan mengambil petunjuknya. Dia hanya mengambil perkataan, komentar, ide, pemikiran yang memang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih. Ulul albab bukanlah sekedar orang yang dijuluki cendekiawan muslim, yang mana dia ahli dalam ilmu-ilmu dunia yang kebetulan seorang muslim dan berada di sebuah institusi agama.
Sedangkan orang yang tidak pernah membaca dan mempelajari keduanya dengan benar, dia tidak akan paham dan mampu membedakan berbagai perkataan dan komentar secara benar. Kalaupun dia mempelajarinya dia hanya mengambil yang sesuai dengan kemauan dan hawa nafsunya. Bukanlah dia termasuk seorang yang sehat akalnya, bahkan hawa nafsunya telah mengalahkan akalnya. Maka jadilah akalnya itu pengikuti hawa nafsunya. Orang seperti ini kalau dia menjadi pengikut atau pendengar, dia akan mengikuti pendapat yang sesuai hawa nafsunya, sedangkan jika dia berbicara, maka keburukan yang ditimbulkan lebih besar lagi, karena dia akan menularkan kebodohan dan keburukannya kepada orang lain. Na’udzubulillahi min syarri dzalika


Jumat, 03 Juli 2009

Bagi-bagi Pahala

Kira-kira 5 tahun yang lalu kami sekeluarga diberi ujian oleh Allah SWT ketika secara mendadak bapak muntah-muntah sehingga harus di bawa ke rumah sakit. Ketika itu yang yang dituju adalah Rumah Sakit Islam Surakarta, dengan pertimbangan dekat dan ada sepupu yang menjadi perawat di sana. Di rumah sakit, bapak segera ditangani dokter spesialis penyakit dalam, tetapi bapak malah bertambah muntah-muntah, bahkan muntah darah serta buang air besar darah. Hal ini berlangsung selama hampir satu minggu. Ibu yang sangat sabar merawat dan menunggu bapak cukup kerepotan karena bapak dirawat di bangsal kelas II yang berisi 3 pasien. Sementara bapak setiap saat bisa muntah dan berak darah, sehingga Ibu harus bolak-balik ke kamar mandi, membersihkan tempat tidur, baju, disamping merasa nggak enak dengan pasien sebelah. Dengan pertimbangan inilah akhirnya diputuskan bapak dipindah ke ruang perawatan Kelas I.
Seminggu bapak di rumah sakit, muntah dan berak darah, penyakit belum jelas. Aku sendiri mesti bola-balik Jogja Solo, siang dari kampus langsung ke Solo, malam atau kadang setelah subuh balik Jogja. Dari cek darah bapak, kadar HB terus menurun, bahkan hingga mencapai angka 3. Padahal untuk seorang pria normal, kadar HB haruslah sekitar angka 12. Aku sendiri nggak begitu paham dengan istilah ini. Karena itu rumah sakit meminta donor darah. Aku segera hubungi teman-teman, tetangga, teman saudara. Donor harus dilakukan karena bapak harus diendoskopi untuk bias mengetahui penyakitnya dengan jelas. Padahal untuk bisa diendoskopi kadar HB harus paling tidak 9 atau 10. Tiap kali donor darah, HB bapak naik sedikit, tetapi kemudian muntah darah lagi, HB turun lagi. Padahal untuk ngambil darah, aku mesti bolak-balik dari RSI yang berada di Pabelan Kartasura ke PMI yang berada di Jebres (Solo Timur). Akhirnya setelah habis darah dari sekitar 10 pendonor, HB bapak dinyatakan cukup memenuhi syarat untuk diendoskopi. Kami cukup deg-gegan menunggu keputusan dokter. Malam itu aku pulang ke Jogja, karena anak istriku juga mesti kuurus.

Besok paginya aku ke Solo lagi, ternyata bapak divonis mengidap penyakit Sirosis Hepatis, penyakit yang baru kali sekali itu aku dengar. Setelah cari info sana-sini, tanya teman, browsing internet, sirosis adalah tingkatan penyakit hati (lever) paling kronis, Masya Allah. Aku sempat heran, seperti gak percaya, wong bapak tidak pernah punya riwayat sakit lever, hepatitis atau semacamnya, kok tahu-tahu lever paling kronis. Tapi apa daya, namanya orang gak paham penyakit, nurut saja sama bu dokter spesialis yang ahli. Demikianlah, akhirnya perawatan dan pengobatan bapak diarahkan untuk mengatasi penyakit mengerikan ini. Selama itu donor darah jalan terus, demikian pula obat yang paling ampuh untuk sirosis, yang sekali suntik 300an ribu pun dipakai. Tetapi bapak tetap nggak ada kemajuan. Saat perawatan masih berjalan, bu dokter ada acara ke luar negeri, sehingga perawatan dilanjutkan oleh dokter yang lain. Pak dokter yang ini lebih senior, semoga lebih berpengalaman dan tepat dalam tindakan.

Kira-kira hari keduapuluh, dokter meminta donor lagi, aku bilang ke ibu, beliau menolaknya. Kata ibu : sudahlah, pasrah sama Allah, kasihan yang donor. Sudah sekian banyak yang donor, bapak tetap muntah dan berak darah lagi. Malam itu bapak terlihat sangat lemah, antara sadar dan tidak. Aku minta semua orang keluar dari ruangan. Aku ingin menyendiri dengan bapak. Aku mulai membaca Al Qur’an untuk membuat suasana lebih baik, kemudian mulai mentalqin bapak dengan kalimat thayyibah, pelan-pelan, berulang-ulang. Aku mendengar bapak menirukan pelan-pelan, kemudian sesaat beliau terdiam, agak lama. Aku diam deg-degan, tapi hati ini sudah ikhlas kepada Allah apapun keputusan-Nya. Tetapi tiba-tiba terdengar samara-samar suara bapak memanggilku, … Dik !. Aku kaget, ternyata Allah masih memberi kesempatan kepada beliau. Laa haula walaa quwata illa billah.

Besok paginya aku tidak pulang ke jogja. Kuminta Ninu adikku mengecek tagihan di rumah sakit. Terhitung pada hari 20 waktu itu tagihan telah mencapai 17 juta rupiah, Masya Allah. Kusampaikan ke ibu, beliau pasrah. Aku berpikir keras, bagaimana kami bisa mendapat uang sebesar itu. Aku juga mulai berpikir untuk mencari pengobatan alternatif non medis, tetapi yang tidak melangar syariat. Kemudian aku menelpon ustadz untuk mendapatkan penjelasan tentang syarat pengobatan non medis secara syar’i, yakni tidak boleh memakai ritual syirik/bid’ah dan memakai barang yang halal.

Beberapa hari ditangani dokter yang baru belum ada kemajuan yang berarti pada penyakit bapak. Kira-kira pada hari ke 21, akhirnya dokter yang kedua menyerah, beliau merujuk kepada Dokter Yuli di RS Moewardi Jebres untuk menangani bapak. Pada hari itu juga bapak dibawa ke RS Moewardi. Dokter Yuli rupanya penasaran dengan penyakit bapak setelah memeriksa hasil foto dari RS Yarsis. Beliau pun meminta bapak diendoskopi. Sebelumnya HB harus dinaikkan, maka donor darah pun dilakukan lagi. Ketika itu kira-kira donor yang ke-20an. Alhamdulillah HB bapak segera naik, sehingga endoskopi segera bisa dilakukan, yakni di RS dr. Oen. Dari hasil endoskopi, Dokter Yuli menyimpulkan bahwa penyakit bapak bukan sirosis hepatis, melainkan adalah Melena, yakni luka pada lambung yang menyebabkan kebocoran. Luka ini harus ditutup yang tekniknya adalah dengan semacam dipatri lambungnya melalui endoskopi. Subhanallah.
Kami pun geleng-geleng kepala, berarti apa yang dilakukan selama 3 mingguan di Yarsis itu tidak ada artinya, bahkan obat yang paling ampuh telah diinjeksikan ke bapak. Semua itu tidak ada pengaruhnya karena memang penyakitnya bukan itu. Padahal kami masih harus melunasi tagihan yang 17 juta tersebut. Tapi sudahlah, Allah yang telah memberi jalan seperti itu yang harus kami jalani dengan ikhlas.

Pada hari pertama di Jebres, aku teringat pada mahasiswaku yang bernama Kurniawan yang rumahnya di Karanganyar. Dia sering cerita tentang bapaknya yang ahli tanaman obat. Aku pun segera meluncur mencari rumah Pak Pujo (bapaknya Kurniawan). Sesampainya di sana, aku ceritakan riwayat penyakit bapak kepada Pak Pujo. Beliau akhirnya memberi 1 bungkus ramuan jamu yang berasal dari tanaman obat yang banyak terdapat di halaman rumahnya, gratis, beliau betul-betul tidak mau dibayar. Jamu itu harus direbus, kemudian airnya diminumkan ke pasien. Malam itu bapak meminum ramuan jamu dari Pak Pujo. Subhanallah, paginya bapak tidak muntah lagi dan beraknya berubah warna menjadi kehitam-hitaman, sesuai dengan yang dikatakan Pak Pujo. Akhirnya pengobatan dilakukan secara terpadu, yakni secara medis dan ramuan jamu herbal dari Pak Pujo. Alhamdulillah dengan ijin dan pertolongan Allah, tidak sampai 10 hari di RS Moewardi bapak sudah diijinkan pulang oleh dokter.

Setelah itu kondisi bapak semakin sehat dari penyakitnya setelah beberapa kali kontrol ke rumah sakit. Kami sungguh bersyukur atas ujian dan sekaligus nikmat dari Allah ini. Sungguh semua ada hikmahnya ketika kami sekeluarga harus sedemikian panjang menemani bapak dirawat di rumah sakit, total sekitar 30 hari. Dengan sakitnya bapak, demikian banyak orang yang berkesempatan meraih pahala dari Allah Ta’ala. Mulai dari para donor darah yang mencapai 25-an orang, segenap keluarga, tetangga, teman-teman yang menjenguk bapak (untuk mengamalkan sunnah rasulullah) yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil, semoga Allah melipatgandakan kebaikan mereka semua.

Kemudian bagi adik-adikku, ada pelajaran berharga dari pengalaman ini, kalian jadi semakin dewasa, Ninu, Seno, Risa. Kalian yang setiap saat mendampingi bapak dan ibu selama di rumah sakit, melayani kebutuhan-kebutuhannya. Aku sendiri selama itu mesti bolak-balik Jogja-Solo, karena memang pekerjaan tidak sepenuhnya bisa ditinggal, juga istriku yang dengan penuh kesabaran dan perhatian harus sering kutinggal, ngurus rumah dan anak sendirian. Semoga Allah melimpahkan pahalanya, ketika kita harus berkhidmat, berbakti kepada orang tua.

Kemudian yang paling tinggi kesabarannya ketika itu adalah ibu, yang dengan setia dan ikhlas menemani bapak siang malam di rumah sakit. Beliau melayani bapak, menyuapi, membersihkan badan, membersihkan kotoran dengan penuh kesabaran dan ikhlas hanya karena Allah. Semoga Allah Ta’ala menyayangi mereka berdua sebagaimana mereka telah menyayangi kami, anak-anaknya dari waktu kecil hingga sekarang dan selamanya. Semoga Allah Ta’ala memberikan pahala, meninggikan derajat dan menghapuskan dosa-dosa bapak dan ibu yang dengan penuh kesabaran menerima ujian dan cobaan dari Allah. Amiin.