Jumat, 03 Juli 2009

Bagi-bagi Pahala

Kira-kira 5 tahun yang lalu kami sekeluarga diberi ujian oleh Allah SWT ketika secara mendadak bapak muntah-muntah sehingga harus di bawa ke rumah sakit. Ketika itu yang yang dituju adalah Rumah Sakit Islam Surakarta, dengan pertimbangan dekat dan ada sepupu yang menjadi perawat di sana. Di rumah sakit, bapak segera ditangani dokter spesialis penyakit dalam, tetapi bapak malah bertambah muntah-muntah, bahkan muntah darah serta buang air besar darah. Hal ini berlangsung selama hampir satu minggu. Ibu yang sangat sabar merawat dan menunggu bapak cukup kerepotan karena bapak dirawat di bangsal kelas II yang berisi 3 pasien. Sementara bapak setiap saat bisa muntah dan berak darah, sehingga Ibu harus bolak-balik ke kamar mandi, membersihkan tempat tidur, baju, disamping merasa nggak enak dengan pasien sebelah. Dengan pertimbangan inilah akhirnya diputuskan bapak dipindah ke ruang perawatan Kelas I.
Seminggu bapak di rumah sakit, muntah dan berak darah, penyakit belum jelas. Aku sendiri mesti bola-balik Jogja Solo, siang dari kampus langsung ke Solo, malam atau kadang setelah subuh balik Jogja. Dari cek darah bapak, kadar HB terus menurun, bahkan hingga mencapai angka 3. Padahal untuk seorang pria normal, kadar HB haruslah sekitar angka 12. Aku sendiri nggak begitu paham dengan istilah ini. Karena itu rumah sakit meminta donor darah. Aku segera hubungi teman-teman, tetangga, teman saudara. Donor harus dilakukan karena bapak harus diendoskopi untuk bias mengetahui penyakitnya dengan jelas. Padahal untuk bisa diendoskopi kadar HB harus paling tidak 9 atau 10. Tiap kali donor darah, HB bapak naik sedikit, tetapi kemudian muntah darah lagi, HB turun lagi. Padahal untuk ngambil darah, aku mesti bolak-balik dari RSI yang berada di Pabelan Kartasura ke PMI yang berada di Jebres (Solo Timur). Akhirnya setelah habis darah dari sekitar 10 pendonor, HB bapak dinyatakan cukup memenuhi syarat untuk diendoskopi. Kami cukup deg-gegan menunggu keputusan dokter. Malam itu aku pulang ke Jogja, karena anak istriku juga mesti kuurus.

Besok paginya aku ke Solo lagi, ternyata bapak divonis mengidap penyakit Sirosis Hepatis, penyakit yang baru kali sekali itu aku dengar. Setelah cari info sana-sini, tanya teman, browsing internet, sirosis adalah tingkatan penyakit hati (lever) paling kronis, Masya Allah. Aku sempat heran, seperti gak percaya, wong bapak tidak pernah punya riwayat sakit lever, hepatitis atau semacamnya, kok tahu-tahu lever paling kronis. Tapi apa daya, namanya orang gak paham penyakit, nurut saja sama bu dokter spesialis yang ahli. Demikianlah, akhirnya perawatan dan pengobatan bapak diarahkan untuk mengatasi penyakit mengerikan ini. Selama itu donor darah jalan terus, demikian pula obat yang paling ampuh untuk sirosis, yang sekali suntik 300an ribu pun dipakai. Tetapi bapak tetap nggak ada kemajuan. Saat perawatan masih berjalan, bu dokter ada acara ke luar negeri, sehingga perawatan dilanjutkan oleh dokter yang lain. Pak dokter yang ini lebih senior, semoga lebih berpengalaman dan tepat dalam tindakan.

Kira-kira hari keduapuluh, dokter meminta donor lagi, aku bilang ke ibu, beliau menolaknya. Kata ibu : sudahlah, pasrah sama Allah, kasihan yang donor. Sudah sekian banyak yang donor, bapak tetap muntah dan berak darah lagi. Malam itu bapak terlihat sangat lemah, antara sadar dan tidak. Aku minta semua orang keluar dari ruangan. Aku ingin menyendiri dengan bapak. Aku mulai membaca Al Qur’an untuk membuat suasana lebih baik, kemudian mulai mentalqin bapak dengan kalimat thayyibah, pelan-pelan, berulang-ulang. Aku mendengar bapak menirukan pelan-pelan, kemudian sesaat beliau terdiam, agak lama. Aku diam deg-degan, tapi hati ini sudah ikhlas kepada Allah apapun keputusan-Nya. Tetapi tiba-tiba terdengar samara-samar suara bapak memanggilku, … Dik !. Aku kaget, ternyata Allah masih memberi kesempatan kepada beliau. Laa haula walaa quwata illa billah.

Besok paginya aku tidak pulang ke jogja. Kuminta Ninu adikku mengecek tagihan di rumah sakit. Terhitung pada hari 20 waktu itu tagihan telah mencapai 17 juta rupiah, Masya Allah. Kusampaikan ke ibu, beliau pasrah. Aku berpikir keras, bagaimana kami bisa mendapat uang sebesar itu. Aku juga mulai berpikir untuk mencari pengobatan alternatif non medis, tetapi yang tidak melangar syariat. Kemudian aku menelpon ustadz untuk mendapatkan penjelasan tentang syarat pengobatan non medis secara syar’i, yakni tidak boleh memakai ritual syirik/bid’ah dan memakai barang yang halal.

Beberapa hari ditangani dokter yang baru belum ada kemajuan yang berarti pada penyakit bapak. Kira-kira pada hari ke 21, akhirnya dokter yang kedua menyerah, beliau merujuk kepada Dokter Yuli di RS Moewardi Jebres untuk menangani bapak. Pada hari itu juga bapak dibawa ke RS Moewardi. Dokter Yuli rupanya penasaran dengan penyakit bapak setelah memeriksa hasil foto dari RS Yarsis. Beliau pun meminta bapak diendoskopi. Sebelumnya HB harus dinaikkan, maka donor darah pun dilakukan lagi. Ketika itu kira-kira donor yang ke-20an. Alhamdulillah HB bapak segera naik, sehingga endoskopi segera bisa dilakukan, yakni di RS dr. Oen. Dari hasil endoskopi, Dokter Yuli menyimpulkan bahwa penyakit bapak bukan sirosis hepatis, melainkan adalah Melena, yakni luka pada lambung yang menyebabkan kebocoran. Luka ini harus ditutup yang tekniknya adalah dengan semacam dipatri lambungnya melalui endoskopi. Subhanallah.
Kami pun geleng-geleng kepala, berarti apa yang dilakukan selama 3 mingguan di Yarsis itu tidak ada artinya, bahkan obat yang paling ampuh telah diinjeksikan ke bapak. Semua itu tidak ada pengaruhnya karena memang penyakitnya bukan itu. Padahal kami masih harus melunasi tagihan yang 17 juta tersebut. Tapi sudahlah, Allah yang telah memberi jalan seperti itu yang harus kami jalani dengan ikhlas.

Pada hari pertama di Jebres, aku teringat pada mahasiswaku yang bernama Kurniawan yang rumahnya di Karanganyar. Dia sering cerita tentang bapaknya yang ahli tanaman obat. Aku pun segera meluncur mencari rumah Pak Pujo (bapaknya Kurniawan). Sesampainya di sana, aku ceritakan riwayat penyakit bapak kepada Pak Pujo. Beliau akhirnya memberi 1 bungkus ramuan jamu yang berasal dari tanaman obat yang banyak terdapat di halaman rumahnya, gratis, beliau betul-betul tidak mau dibayar. Jamu itu harus direbus, kemudian airnya diminumkan ke pasien. Malam itu bapak meminum ramuan jamu dari Pak Pujo. Subhanallah, paginya bapak tidak muntah lagi dan beraknya berubah warna menjadi kehitam-hitaman, sesuai dengan yang dikatakan Pak Pujo. Akhirnya pengobatan dilakukan secara terpadu, yakni secara medis dan ramuan jamu herbal dari Pak Pujo. Alhamdulillah dengan ijin dan pertolongan Allah, tidak sampai 10 hari di RS Moewardi bapak sudah diijinkan pulang oleh dokter.

Setelah itu kondisi bapak semakin sehat dari penyakitnya setelah beberapa kali kontrol ke rumah sakit. Kami sungguh bersyukur atas ujian dan sekaligus nikmat dari Allah ini. Sungguh semua ada hikmahnya ketika kami sekeluarga harus sedemikian panjang menemani bapak dirawat di rumah sakit, total sekitar 30 hari. Dengan sakitnya bapak, demikian banyak orang yang berkesempatan meraih pahala dari Allah Ta’ala. Mulai dari para donor darah yang mencapai 25-an orang, segenap keluarga, tetangga, teman-teman yang menjenguk bapak (untuk mengamalkan sunnah rasulullah) yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil, semoga Allah melipatgandakan kebaikan mereka semua.

Kemudian bagi adik-adikku, ada pelajaran berharga dari pengalaman ini, kalian jadi semakin dewasa, Ninu, Seno, Risa. Kalian yang setiap saat mendampingi bapak dan ibu selama di rumah sakit, melayani kebutuhan-kebutuhannya. Aku sendiri selama itu mesti bolak-balik Jogja-Solo, karena memang pekerjaan tidak sepenuhnya bisa ditinggal, juga istriku yang dengan penuh kesabaran dan perhatian harus sering kutinggal, ngurus rumah dan anak sendirian. Semoga Allah melimpahkan pahalanya, ketika kita harus berkhidmat, berbakti kepada orang tua.

Kemudian yang paling tinggi kesabarannya ketika itu adalah ibu, yang dengan setia dan ikhlas menemani bapak siang malam di rumah sakit. Beliau melayani bapak, menyuapi, membersihkan badan, membersihkan kotoran dengan penuh kesabaran dan ikhlas hanya karena Allah. Semoga Allah Ta’ala menyayangi mereka berdua sebagaimana mereka telah menyayangi kami, anak-anaknya dari waktu kecil hingga sekarang dan selamanya. Semoga Allah Ta’ala memberikan pahala, meninggikan derajat dan menghapuskan dosa-dosa bapak dan ibu yang dengan penuh kesabaran menerima ujian dan cobaan dari Allah. Amiin.

1 komentar:

  1. A heart-shocking, 'touchy feely' story of life. You could be a great writer of life.

    BalasHapus