Senin, 28 Desember 2009

Tahun Baru : Darimana, Ada apa


TANGGAL TAHUN BARU

Kalender Romawi kuno menggunakan tanggal 1 Maret sebagai Hari Tahun Baru. Belakangan, orang Romawi Kuno menggunakan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun yang baru. Pada Abad Pertengahan, kebanyakan negara-negara Eropa menggunakan tanggal 25 Maret, hari raya umat Kristen yang disebut Hari Kenaikan Tuhan, sebagai awal tahun yang baru. Hingga tahun 1600, kebanyakan negara-negara Barat telah menggunakan sistem penanggalan yang telah direvisi, yang disebut kalender Gregorian.

Kalender yang hingga kini digunakan itu menggunakan 1 Januari kembali sebagai Hari Tahun Baru. Inggris dan koloni-koloninya di Amerika Serikat ikut menggunakan sistem penanggalan tersebut pada tahun 1752. Kebanyakan orang memperingati tahun baru pada tanggal yang ditentukan oleh agama mereka. Tahun baru umat Yahudi, Rosh Hashanah, dirayakan pada bulan September atau awal Oktober. Umat Hindu merayakannya pada tanggal-tanggal tertentu. Umat Islam menggunakan sistem penanggalan yang terdiri dari 354 hari setiap tahunnya. Karena itu, tahun baru mereka jatuh pada tanggal yang berbeda-beda pada kalender Gregorian tiap tahunnya.

SEJARAH DAN CARA MERAYAKAN DI MASA LAMPAU

Kebanyakan orang di masa silam memulai tahun yang baru pada hari panen. Mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan untuk meninggalkan masa lalu dan memurnikan dirinya untuk tahun yang baru. Orang Persia kuno mempersembahkan hadiah telur untuk Tahun Baru, sebagai lambang dari produktivitas. Orang Romawi kuno saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Bulan Januari mendapat nama dari dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang). Orang-orang Romawi mempersembahkan hadiah kepada kaisar. Para kaisar lambat-laun mewajibkan hadiah-hadiah seperti itu. Para pendeta Keltik memberikan potongan dahan mistletoe, yang dianggap suci, kepada umat mereka. Orang-orang Keltik mengambil banyak kebiasaan tahun baru orang-orang Romawi, yang menduduki kepulauan Inggris pada tahun 43 Masehi.

Pada tahun 457 Masehi gereja Kristen melarang kebiasaan ini, bersama kebiasaan tahun baru lain yang dianggapnya merupakan kebiasaan kafir. Pada tahun 1200-an pemimpin-pemimpin Inggris mengikuti kebiasaan Romawi yang mewajibkan rakyat mereka memberikan hadiah tahun baru. Para suami di Inggris memberi uang kepada para istri mereka untuk membeli bros sederhana (pin). Kebiasaan ini hilang pada tahun 1800-an, namun istilah pin money, yang berarti sedikit uang jajan, tetap digunakan. Banyak orang-orang koloni di New England, Amerika, yang merayakan tahun baru dengan menembakkan senapan ke udara dan teriak, sementara yang lain mengikuti perayaan di gereja atau pesta terbuka.

PERAYAAN MODERN

Sekalipun tahun baru juga merupakan hari suci Kristiani, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Amerika. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan "Selamat Tahun Baru" dan menyanyikan Auld Lang Syne.

Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana.

Perayaan Tahun Baru

Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi maupun orang Kafir yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari.

Orang Kristen ikut merayakan Tahun Baru tersebut dan mereka mengadakan puasa khusus serta ekaristi berdasarkan keputusan Konsili Tours pada tahun 567. Pada mulanya setiap negeri mempunyai perayaan Tahun Baru yang berbeda-beda. Di Inggris dirayakan pada tanggal 25 Maret. Di Jerman dirayakan pada hari Natal sedangkan di Perancis dirayakan pada Hari paskah.

Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.

Bahan ini diambil dari:
Judul buku: Kamus Sejarah Gereja
Penulis : Drs. F.D. Wellem, M.Th.
www.indrayogi. multiply.com

***

Itulah yang terjadi dengan tanggal 1 Januari. Nah, kita kaum muslimin, apakah kita juga mau ikut-ikutan orang kafir semacam Yahudi dan Kristen ? Tanpa mau berpikir dahulu pada apa yang kita perbuat ? Apalagi peringatan tahun baru sekarang ini selalu dipenuhi dengan kesyirikan dengan mendatangi para tukang ramal, mulai dari pejabat, politikus, pengusaha, konglomerat, artis, pedagang hingga rakyat. Juga penghambur-hamburan uang untuk acara-acara sesaat pemuas syahwat. Ingatlah bahwa setiap yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, teladan kita semua telah memperingatkan. Beliau bersabda :


ِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ،
قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟


“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/ jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir), niscaya kalian akan mengikuti mereka.”
Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?”
Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”

[HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat Al-Lu’lu Wal Marjan, hadits no. 1708]


Senin, 14 Desember 2009

Hari Baik

Akhir bulan Dzulhijah, saat banyak jamaah haji yang pulang dari tanah suci. Juga saat rame-ramenya orang punya hajatan manten, khususnya di Jawa. Hari-hari telah habis dipilih untuk jadwal ijab dan resepsi. Ketua sinoman dan wadyobolonya jadi pusing saking padatnya jadwal laden. Di satu sisi pihak catering dan jasa sewa gedung dan perkakas sama meringis kesenangan karena dagangannya laris manis. Apalagi Ahad kemarin (13 des), dalam satu hari bisa dijumpai banyak event resepsi mantenan dalam waktu yang bersamaan. Tanya kenapa?

Fenomena ini tak terlepas dari anggapan atau bahkan keyakinan sebagian besar masyarakat kita tentang hari baik dan hari buruk. Bukankah beberapa hari lagi sudah masuk bulan syuro (Muharrom) Tahun 1431 Hijriyah? Inilah masalahnya. Sebagian besar masyarakat kita masih menganggap bahwa bulan syuro adalah hari-hari yang tidak baik untuk punya keperluan yang dianggap penting. Hal itu karena adanya kekhawatiran dan ketakutan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (celaka) bila melanggar. Saya sendiri kurang tahu, siapa yang sebenarnya yang pertama kali menghembus-hembuskan anggapan yang akhirnya diyakini, bahwa hari-hari di bulan syuro adalah hari buruk dan menakutkan untuk mengadakan acara hajatan.
Kalo di dalam Islam, yang berkenaan dengan waktu atau hari, yang ada hanya waktu/hari baik dan baik sekali. Tidak ada istilah hari buruk atau waktu buruk. Apalagi jika berkenaan untuk mengerjakan sebuah amalan kebaikan seperti berdoa, dzikir, nikahkan anak, sunatan, sedekah dsb. Setiap saat dalam satu hari baik semua, tapi ada yang lebih baik, yakni sepertiga malam terakhir. Dalam 1 minggu juga demikian, semua hari baik semua, Ahad, Senin, Selasa, Rabu dan seterusnya, tetapi ada yang terbaik, yakni hari Jum'at. Juga dalam setahun, semua bulan baik semua, yang terbaik adalah bulan Ramadhan, kemudian 10 hari awal Dzulhijah, bulan Muharom, Sya'ban dan seterusnya. Yang ada hanyalah hari baik dan baik sekali, tidak ada yang buruk. Seperti kalo kita bertanya kepada orang yang baru nikah, katanya enaknya hanya 10%, sedangkan yang 90% uenak sekali. Enak kan ?
Bulan Syuro (Muharom) adalah satu di antara bulan-bulan haram yang dihormati dan bulan aman. Di bulan tersebut tidak boleh mengawali perang, mengganggu ibadah dsb. Mestinya orang senang beramal kebaikan di bulan itu, termasuk nikahkan anak, karena nikah termasuk ibadah. Tetapi kalo orang sudah tidak mau berpikir, hanya ikut-ikutan takut (mending ikut-ikutan senang), bahwa hal itu termasuk kesyirikan juga nggak terpikir. Atau bahkan tidak paham bahwa hal itu termasuk perkara yang membuat Allah Ta'ala murka dan bisa menghapus amal kebaikan yang pernah dilakukan. Sebagaimana kita semua tahu, kebanyakan masyakarat kita menyambut bulan Syuro ini pun masih banyak dengan amalan kesyirikan, di Solo dengan kerbau dan kotorannya, di Jogja dengan thawaf beteng mbisunya, dan berbagai bentuk kesyirikan nyata lainnya di tempat yang lain. Belum lagi syaitan yang menghembus-hembuskan bisikan bahwa semua itu adalah baik, warisan leluhur yang harus dilestarikan, budaya bangsa, aset wisata dan semancamnya. Suatu amalan yang sungguh konyol, sudah repot, keluar uang, tenaga tapi malah dapat murka dari Penguasa alam semesta. Sudah diberi yang mudah dan enak tidak mau, malah cari-cari masalah. Ya, itulah manusia, kebanyakan mereka tidak bersyukur dan tidak mau tunduk kepada Rabbnya.



Jumat, 23 Oktober 2009

Islam itu Mudah


Allah Azza wa Jalla telah berfirman yang "Artinya : “Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah. [QS. Thaahaa: 2-4]. Memang Islam datang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia sehingga hidup menjadi benar, baik dan penuh manfaat. Sebagai jalan hidup, Islam adalah agama yang mudah dijalani, sebagaimana sabda Nabi : “Addiinu yusrun” (Dien Al Islam itu mudah). Sebagai contoh tentang beberapa kemudahan Islam antara lain :

1. Menuntut ilmu syar’i, mengaji belajar Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah mudah. Kita dapat belajar menurut kemampuan kita, setiap hari atau sepekan dua kali, di sela-sela waktu kita yang sangat luang.

2. Mentauhidkan Allah dan beribadah hanya kepada-Nya adalah mudah dan murah. Tidak perlu syarat, perantara, sesaji yang macam-macam seperti yang dilakukan pada setiap acara kesyirikan dan bid’ah.

3. Melaksanakan Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mudah, seperti memanjangkan jenggot, memakai pakaian di atas mata kaki, dan lainnya. Sebaliknya melakukan bid’ah adalah sulit, repot, harus mengerjakan macam-macam yang tidak ada tuntunannya dari syariat. Sudah repot, keluar uang, amalnya tidak diterima oleh Allah, bahkan mendapat dosa.

4. Shalat hanya diwajibkan 5 waktu dalam 24 jam. Orang yang khusyu’ dalam shalatnya, paling lama 15 menit, berarti dalam sehari dia hanya menggunakan waktu 75 menit untuk sholat dari total waktu 24 x 60 menit. Masih banyak waktu tersisa untuk pekerjaan yang lain.

5. Orang sakit boleh sholat sambil duduk atau berbaring jika tidak mampu berdiri, bahkan dengan isyarat jika memang mampunya hanya itu.

6. Jika tidak ada air (untuk bersuci), maka dibolehkan tayammum dengan tanah atau debu yang menempel di dinding, meja, kursi dll.

7. Jika terkena najis, hanya diwajibkan mencuci bagian yang terkena najis saja, (agama lain harus menggunting pakaian tersebut dan dibuang).

8. bagi musafir disunnahkan mengqashar (meringkas) shalat dan boleh menjama’ (menggabung) dua shalat apabila dibutuhkan, seperti shalat Zhuhur dengan ‘Ashar, dan Maghrib dengan ‘Isya'.

9. Seluruh permukaan bumi ini bisa dijadikan untuk tempat shalat dan boleh dipakai untuk bersuci (tayammum).

10. Puasa hanya wajib selama satu bulan, yaitu pada bulan Ramadlan setahun sekali. Itu pun malamnya kita berbuka, boleh makan, minum, kumpul suami istri. Tidak seperti puasanya umat terdahulu (puasa wishol), juga puasanya orang syirik (puasa ngebleng), sudah lapar, lemes, dapat dosa.

11. Orang sakit dan musafir boleh tidak berpuasa asal ia mengganti puasa pada hari yang lain, demikian juga orang yang nifas dan haidh.

12. Orang yang sudah tua renta, perempuan hamil dan menyusui apabila tidak mampu boleh tidak berpuasa, dengan menggantinya dalam bentuk fidyah.

13. Zakat hanya wajib dikeluarkan sekali setahun, itu pun bila sudah sampai nishab (batasan minimal harta yang kena zakat) dan haul (telah dimiliki selama 1 tahun).

14. Haji hanya wajib sekali seumur hidup. Barangsiapa yang ingin menambah, maka itu hanyalah sunnah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya oleh al-Aqra’ bin Habis tentang berapa kali haji harus ditunaikan, apakah harus setiap tahun ataukah hanya cukup sekali seumur hidup? Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.

"Artinya : “Haji itu (wajibnya) satu kali, barangsiapa yang ingin menambah, maka itu sunnah”

15. Memakai jilbab sesuai dengan syari’at Islam itu mudah dan tidak berat bagi muslimah,, apalagi di zaman sekarang, tidak ada lagi ancaman-ancaman.


Itulah beberapa bukti bahwa melaksanakan Islam secara benar itu mudah dan murah, sesuai kemampuan kita. Karena Allah SWT sebagai pembuat syariat tidak membebani seorang hamba kecuali menurut kemampuannya. Semoga hati kita diberi taufiq oleh Allah Ta’ala, sehingga dengan merasa ringan dan mudah, kita bisa menjalani Islam dengan sebaik-baiknya.



Jumat, 16 Oktober 2009

Ikatan

Ketika mengeringkan sebuah papan kayu, seringkali kita mendapati kayu tersebut menjadi menyusut, melengkung, kadang-kadang pecah, muntir dan sebagainya. Hal ini terjadi akibat dari perilaku air yang berada di dalam kayu. Keberadaan air di dalam kayu ada 2 macam kondisi, yakni sebagai air bebas dan air terikat. Disebut air bebas karena air ini berada di ruang yang bebas yang tidak terikat dengan bagian zat kayu, yakni di dalam rongga sel kayu. Sedangkan air terikat terdapat secara menyatu di dalam dinding sel kayu yang saling berikatan.
Saat mengeringkan kayu dari keadaan basah, air yang keluar terlebih dahulu dari kayu adalah air bebas dari rongga sel. Air ini dengan mudah bisa keluar tanpa banyak menimbulkan dampak pada papan kayu, apalagi jika kayunya termasuk kayu yang porous (ringan), banyak porinya. Hal ini terus berlangsung sampai seluruh air di dalam rongga sel keluar. Apabila proses pengeringan dilanjutkan, maka tinggal air terikat yang belum keluar. Air ini akan keluar lebih lambat dan lebih sulit daripada air bebas. Pengeluaran air terikat inilah yang akan menimbulkan beberapa dampak kerusakan pada kayu, seperti penyusutan, melengkung, pecah, muntir dll sebagai konsekuensi bahwa kayu merupakan material organik yang relative tidak stabil, mudah dipengaruhi lingkungan. Semakin kuat ikatan antar elemen air dan dinding sel kayu, maka kemungkinan kerusakan yang ditimbulkan akan semakin besar.

Dalam kehidupan sosial filosofi ini pun berlaku. Di antara manusia yang kita temui di jalan, ketemu di pasar, di terminal, banyak yang tidak kita kenal. Sering kita terlibat hubungan muamalah dengan orang lain yang tidak kita kenal, seperti dalam jual beli, ngurus surat di kantor, tanya alamat rumah dan lain-lain. Dalam hubungan itu kita tidak ada hubungan emosional dengan orang-orang tersebut. Ketika akad sudah disepakati ya sudah, terus berpisah. Tidak ada perasaan yang mengganjal, tidak enak, maupun sedih tatkala kita selesai dengan urusan-urusan tersebut. Bahkan seringkali hati kita merasa senang, lega dan plong ketika berpisah dengan orang-orang tersebut. Hal ini karena memang kita tidak memiliki hubungan ikatan ”emosional” dengan mereka.
Di sisi yang lain kita memiliki hubungan dengan teman, tetangga, mitra kerja, istri, anak, orang tua, keluarga besar, bahkan dengan Allah, Tuhan sesembahan kita. Masing-masing pihak tersebut memiliki tingkat ikatan yang berbeda-beda dengan kita sesuai dengan tingkat kepentingan dan ketergantungan kita kepadanya. Apabila sesuatu hal mengganggu hubungan kita dengan salah satu pihak tersebut, lalu kita hanya menuruti kemauan hawa nafsu atas nama hak asasi, kebebasan berekspresi dan semacamnya, yang akhirnya kita putus hubungan dengan mereka, pasti akan muncul dampak akibat yang menyakitkan. Akibat ini pun juga akan berbeda tingkat sakit dan penderitaan yang kita rasakan, mulai dari sekedar pekewuh, malu, dikucilkan tetangga, kehilangan teman, kehilangan pekerjaan dan penghasilan, kehilangan istri, terusir dari rumah, hingga sakit penderitaan fisik bahkan penderitaan sampai di akhirat kelak selama-lamanya.
Dalam hukum positif di masyarakat, bahkan dalam agama pun kita diperintahkan untuk selalu menjalin hubungan baik dengan orang lain sesuai dengan tingkat haknya kepada kita. Kepada kedua orang tua, keluarga, tetangga, teman dan sebagainya. Allah Ta’ala berfirman :

Artinya : ” sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (QS. An-Nisaa’ : 36)


Menurut ayat di atas jelas bahwa yang harus disempurnakan nomor satu adalah ikatan kita dengan Allah Ta’ala, karena manusia sangat bergantung kepada-Nya, Allahu Ash-Shomad. Dan jika ikatan ini buruk, atau bahkan rusak karena Allah disekutukan, maka akibat buruk akan menimpa manusia selama-selamanya di akhirat. Kemudian pihak-pihak yang disebutkan selanjutnya dalam ayat di atas adalah sesuai dengan urutan prioritas penunaian hak, sesuai dengan tingkat ikatan kita kepada mereka yang dimulai dari kedua orang tua dan seterusnya.
Sebaliknya kita diperingatkan dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak hubungan kita dengan orang lain, terutama dengan sesama muslim. Dalam sebuah hadits disebutkan :
وعن أنسٍ رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تباغضوا، ولا تحاسدوا، ولا تدابروا، ولا تقاطعوا، وكونوا عباد الله إخواناً، …متفقٌ عليه.
Artinya : Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi Shalallahu ’alaihi wa salam bersabda : janganlah kalian saling marah, dan janganlah saling hasad, dan jangan saling membelakangi (jothakan = jawa), dan jangan saling memutus hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara (karena iman).... HR. Bukhari-Muslim

Nah, karena itu mari kita senantiasa menjaga dan kita perbaiki hubungan kita kepada Allah Ta’ala, kepada orang tua, keluarga, tetangga, sahabat, dan lain-lain agar hidup kita tenang, tenteram, bahagia dan selamat fiidunya wal akhirah. Amiiin

Wallahu a’lam...


Jumat, 02 Oktober 2009

Kaya adalah Ujian

Qarun adalah seseorang yang hidup pada masa Nabi Musa Alaihissalam, yakni anak salah seorang paman Beliau. Dia termasuk orang yang diberi harta kekayaan berlimpah oleh Allah SWT, namun dia bertindak melampaui batas dengan kekayaannya tersebut. Orang-orang yang baik dari kalangan kaumnya telah memperingatkannya untuk tidak berbangga-bangga dengan hartanya karena Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri. Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy menjelaskan, dengan harta yang diberikan Allah, hendaklah dia mencari kebahagiaan akhirat dengan berbuat kebaikan dengan cara bershodaqoh dan berinfaq di jalan Allah SWT. Tetapi Qarun telah berkeyakinan akan mencapai kebahagiaan dengannya, dia tidak berbuat baik kepada orang lain dan berbuat kerusakan di muka bumi dengan tidak mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika diperingatkan oleh kaumnya, dia justru berkata :

"Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya sungguh Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya, dan lebih banyak hartanya? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. Al- Al-Qashash (28): 78)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy menjelaskan : Qarun berpendapat bahwa dia memperoleh harta karena hasil usahanya, kepintarannya atau ilmu dari Allah tentang dirinya, Dia tahu bahwa Qarun ahli dalam hal mencari harta. Maka dia pun menolak nasihat kaumnya tentang apa yang telah Allah berikan padanya. Kemudian Allah menjelaskan bahwa ketika Dia memberikan rezeki kepada seseorang (dalam hal ini Qarun), hal itu bukanlah menunjukkan atas kebaikan keadaan orang yang diberi. Allah pun memperingatkan tentang akibat yang diterima umat-umat terdahulu tatkala mereka durhaka kepada Allah, yakni mereka dibinasakan oleh Allah, padahal mereka lebih besar kekuatannya dan lebih banyak harta kekayaannya daripada Qarun. Firman Allah :
… dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.
Maksudnya adalah ketika seseorang telah demikian banyak dosanya dari kesyirikan dan kemaksiatan yang telah diperbuatnya, maka telah jelaslah siksa Allah atas dirinya. Mereka akan masuk ke dalam neraka tanpa perlu ditanya dan dihisab.
Pada suatu hari Qarun keluar kepada kaumnya dengan membawa perhiasannya berupa pakaian kebesaran yang indah dan kendaraan yang bagus. Syaikh As-Sa’diy mengatakan bahwa perhiasan yang dibawa Qarun mencakup berbagai harta dunia yang dimilikinya. Melihat itu, orang-orang yang menginginkan dunia berkata sambil berangan-angan :
“Seandainya kami memiliki harta dan perhiasan seperti apa yang diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".

Sementara itu orang-orang yang berilmu berkata : “Celakalah kalian, pahala di sisi Allah lebih baik bagi orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar (dalam iman dan taqwa)". (QS. Al- Al-Qashash (28): 80)

Syaikh As-Sa’diy mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang menahan diri dalam melakukan ketaatan, dari maksiat dan dari takdir Allah yang buruk. Mereka juga menahan diri/bersabar dari perhiasan dunia yang banyak melalaikan dari Tuhannya. Mereka itulah orang yang mengutamakan pahala Allah di atas dunia yang fana ini.
Karena kedurhakaannya, Allah pun menghukum Qarun dengan cara membenamkannya beserta rumah dan isinyanya ke dalam bumi. Maka tidak ada suatu golongan pun yang mampu menolongnya dari siksa Allah, dan dia tidaklah dia termasuk orang yang dapat membela diri. Syaikh As-Sa’diy mengatakan bahwa bentuk balasan tergantung dari jenis amalnya, maka sebagaimana Qarun telah mengangap dirinya lebih tinggi dari hamba Allah yang lain, Allah pun menurunkannya ke dalam kedudukan yang serendah-rendahnya. Tatkala melihat Qarun di adzab Allah, menjadi sadarlah orang-orang yang dahulu menginginkan kedudukan Qarun. Mereka menyadari bahwa Allahlah yang melapangkan atau menyempitkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, tidak akan pernah beruntung orang-orang yang mengingkari nikmat Allah.


Beberapa pelajaran dari kisah Qarun :
  1. Harta dan kedudukan yang tinggi akan menyebabkan kehancuran seseorang, kecuali bagi orang yang dikasihi Allah Ta’ala, tetapi amat sedikit orang yang seperti ini.
  2. Haramnya gembira dan bangga dengan harta dan kedudukan, ketika hal itu mengarah kepada kesombongan yang merendahkan orang lain.
  3. Termasuk karunia Allah kepada seseorang adalah ketika ada orang-orang yang berilmu yang mau menasihati dan menunjuki kepada kebenaran
  4. Bolehnya makan, minum dan berpakaian yang baik, punya kendaraan yang nyaman, rumah yang nyaman tanpa berlebihan dan kesombongan.
  5. Fitnah lebih cepat menimpa kepada hatinya orang-orang yang sangat condong pada kebesaran dan ketinggian dunia.
  6. Penjelasan tentang keutamaan ahli ilmu dien yang menunjuki, menghukumi dengan syariat Allah, memerintahkan yang makruf dan mencegah dari yang munkar.
  7. Orang yang melampaui batas akan dicicipkan siksa di dunia dan akan dilanjutkan diadzab di akhirat.

Rabu, 12 Agustus 2009

Teladani Sunnah Nabi

Salah satu bukti keimanan seseorang adalah ketika masih ada semangat dalam dirinya untuk meneladani sunnah Rasulullah Saw dalam hidup sehari-hari. Ini merupakan perkara yang sangat penting, terlebih lagi bagi kalangan yang mengaku ahlus-sunnah. Dengan mengamalkan sunnah, seorang akan mendapatkan kenikmatan dan kesempurnaan hidup. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Anfal (8) ayat 24 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.
Ibnul Qoyim Rahimahullah menjelaskan ayat di atas bahwa pada masing-masing seruan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya terdapat bagian dari kenikmatan dan kesempurnaan hidup. Maka semakin banyak perintah Allah dan sunnah Rasul yang diamalkan yang terwujud pada diri seseorang, maka hidupnya akan semakin baik dan sempurna.

Imam Hasan Al-Bashri mengatakan, dahulu jika ada seorang penuntut ilmu hadits, maka akan terlihat pengaruh positif dalam dirinya untuk menjalani sunnah-sunnah Rasulullah yang telah dipelajarinya, hingga dalam hal sunnah-sunnah yang dianggap remeh, yakni apa yang sekedar disukai oleh Rasulullah Saw. Di dalam sebuah hadits yang shahih diriwayatkan ketika Putri Rasulullah Fathimah Az-Zahra r.ha. mengeluh tentang beratnya pekerjaan rumah tangganya, lalu dia bersama suaminya, yakni Sayidina Ali r.a mengadu kepada Rasulullah Saw. Oleh Rasulullah, mereka diajari sebuah amalan dzikir sebelum tidur yakni membaca Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahuakbar 33 kali, maka Insya Allah keesokan harinya segala kepayahan akan hilang, dan badan terasa pulih dan segar kembali. Setelah ini, Sayidina Ali r.a. senantiasa mengamalkan dzikir tersebut bahkan sampai pada waktu perang, yakni perang Shiffin yang sangat menyibukkan pun beliau tetap mengamalkan. Padahal sunnah ini hanyalah bersifat anjuran bukan perintah yang wajib.

Para shahabat Radhiallahu ‘anhum dan orang-orang yang utama selalu menjaga amalan-amalan sunnah sebagaimana mereka menjaga amalan-amalan wajib. Mereka tidak membeda-bedakan di antara amalan-amalan tersebut sekedar mencari alasan bahwa ini hanya sunnah, tidak wajib dilakukan. Dalam hal ini mereka berusaha mencari keutamaan, yakni kecintaan Allah Ta’ala kepada mereka. Sebagaimana dalam potongan sebuah hadits qudsi : … maa zaala abdii yataqarraba ilayya bi an-nawaafili hatta uhibbahu … (tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah /sunnah sehingga Aku mencintainya). Adapun adanya pembagian hukum dalam fiqih, ada wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram hanyalah sekedar untuk menjelaskan akibat yang ditimbulkan manakala amalan tersebut ditinggalkan.
Jangan sampai kita sebagaimana yang diceritakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tentang seorang penuntut ilmu yang belajar hingga tingkatan ilmu yang tinggi di bidang ushul fiqih. Ketika dibacakan kepadanya sebuah ayat atau hadits yang berisi perintah Allah dan Rasul-Nya, bukannya dia segera berusaha mengamalkan sekuat tenaga, akan tetapi malah bertanya “apakah perintah tersebut merupakan hal yang wajib atau sekedar anjuran ?” Menurut Syaikh Al-‘Utsaimin, ini merupakan akhlaq yang buruk terhadap al-hadits. Wal ‘iyadzu billah.

Sunnah dan pengamalannya merupakan sesuatu yang bersifat “dharuriy”, yakni sesuatu yang sangat dibutuhkan dan mendesak untuk diamalkan, terutama di zaman yang penuh fitnah sekarang ini. Kebutuhan seseorang terhadap sunnah Rasul melebihi dari kebutuhannya terhadap apa yang ada di dunia ini, karena dunia dan isinya ini jauh dari rahmat Allah (terlaknat) kecuali yang diterangi dengan risalah dan sunnah Rasulullah. Orang yang bersemangat mempelajari dan mengamalkan sunnah adalah orang yang istimewa. Al-Khatib Al-Baghdadi menyatakan tentang apa yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari pada zamannya, bahwa orang-orang yang bersemangat mempelajari, mencintai dan mengamalkan sunnah pada zaman beliau sangat sedikit, apalagi pada zaman sekarang. Sunnah itu semakin banyak orang yang meninggalkan, maka mengamalkannya akan semakin tinggi pahalanya.

Rasulullah Saw pernah menyerupakan peranan dan fungsi petunjuk dan sunnah beliau sebagaimana bintang-bintang di langit. Allah SWT menciptakan bintang-bintang di langit dengan tiga peranan, yakni sebagai hiasan bagi langit sehingga tampak indah, sebagai pelempar syaithon ketika akan mencuri berita dari langit dan sebagai petunjuk arah serta pertanda musim. Demikian pula sunnah-sunnah Rasulullah yang terwujud pada diri seorang muslim. Sunah-sunnah tersebut akan menghiasi dirinya dan kehidupannya yang penuh barokah, sunnah itu pun akan membentengi dirinya dari berbagai tipu daya syaithon dan akan menjadi petunjuk yang menuntunnya dalam menjalani kehidupan ini secara benar sesuai yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu mari kita pelajari sunnah Rasulullah, kita yakini kebenaran dan kebaikannya, kita amalkan, kita bela dan kita sampaikan kepada saudara kita sebanyak-banyaknya, agar hidup kita indah bak langit yang cerah penuh bintang, agar diri kita aman dari musuh sejati berupa syaithon dan agar kita menjadi pelita yang bisa menjadi asbab petunjuk buat orang lain.

Wallahu a’lam …


Ditulis kembali dari Dauroh dg Tema :
Semangat Meneladani Sunnah
oleh Al-Ustadz Abdullah Taslim, Lc,MA


Rabu, 05 Agustus 2009

PENYESALAN ANAS BIN AN-NADHR

Imam Bukhari dam Muslim meriwayatkan yang bersumber dari Anas bin Malik yang menceritakan tentang pamannya yang bernama Anas bin An-Nadhr. Ketika itu perang Badar telah usai dengan kemenangan di tangan kaum muslimin. Anas bin An-Nadhr yang saat itu tidak ikut berangkat perang datang menemui Rasulullah Saw seraya berkata : “ Wahai Rasulullah, aku telah absen dari perang yang pertama dimana Engkau memerangi orang musyrik. Sungguh jika Allah mempertemukan aku dengan perang yang lain untuk melawan orang musyrik, benar-benar Dia akan melihat apa yang akan kulakukan. Maka tatkala perang Uhud, dimana kaum muslimin kocar-kacir meninggalkan tempat tugasnya, Anas bin An-Nadhr berkata : “Ya Allah, aku mintakan maaf atas apa yang diperbuat oleh para sahabatku, dan aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh orang-orang musyrik yang memerangi Rasul-Mu”. Kemudian dia melangkah maju ke medan pertempuran seorang diri. Saat itu dia bertemu dengan Sa’ad bin Muadz, lalu berkata : “Hai Sa’ad, demi Rabbku, aku mencium bau surga dari arah Uhud”. Ketika berjumpa dengan Rasulullah Sa’ad berkata : “Wahai Rasulullah, aku tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukan oleh Anas bin An-Nadhr”.
Di akhir perang Anas bin Malik bercerita : “Kami mendapatinya telah terbunuh dengan 80 lebih luka, baik dari pedang, tombak maupun anak panah. Tidak hanya itu, wajahnya pun telah dicincang oleh orang-orang musyrik, sampai-sampai tidak ada yang mampu mengenalinya lagi, kecuali saudara perempuannya melalui ciri dari ujung jarinya.
Anas bin An-Nadhr tidak ikut berangkat perang Badar karena memang pada saat itu Rasulullah Saw tidak mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk berangkat. Saat itu Rasulullah hanya hendak menghadang kafilah orang-orang musyrik. Akan tetapi hal ini telah membuat Anas bin An-Nadhr sangat menyesal, sehingga dia pun berjanji kepada Allah untuk berbuat yang lebih baik dan lebih hebat. Janji itu pun ditepatinya, sehingga para sahabat meyakini bahwa salah satu ayat Allah di Surat Al-Ahzab ayat 23 turun berkenan dengan Anas bin An-Nadhr :
“di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah … “
Subhanallah, betapa sebuah penyesalan saat tertinggal dari amal kebaikan ternyata mampu menumbuhkan motivasi yang kuat dan membuahkan tekad untuk menebus ketinggalannya. Bahkan untuk lebih meyakinkan, tekad tersebut kadang perlu diikrarkan sebagai sebuah janji hingga kepada Allah sekalipun. Masih jauh dari apa yang telah dijalani oleh Anas bin An-Nadhr, pernahkah kita merasa menyesal, merasa kehilangan, saat tertinggal dalam amalan-amalan kita, sementara saudara-saudara kita bisa dan mampu melakukannya ? Saat kita tertinggal dari sholat jama’ah, tilawah Al-Qur’an, mendatangi ta’lim, muraja’ah ilmu, hafalan, shodaqoh dan sebagainya. Apakah justru kita merasa tenang-tenang saja, kita merasa cukup dengan apa yang telah kita lakukan ? Kemudian kalaupun kita menyadari dan menyesali kekurangan kita, apakah hal itu mampu membangkitkan motivasi dan tekad untuk mengejar ketinggalan kita ? Motivasi adalah buah dari keyakinan yang disertai semangat dan rela berkorban. Inilah yang dimiliki oleh seorang Anas bin An-Nadhr, keyakinannya akan janji Allah berupa kenikmatan surga telah menumbuhkan semangat untuk meraihnya sekalipun dia harus mengorbankan dirinya di jalan Allah. Dan inilah yang mestinya dimiliki oleh setiap muslim. Bagaimana ilmu dien yang telah dimiliki mampu menumbuhkan keyakinan, sehingga bisa menyalakan tekad dan semangat untuk mengamalkannya.
Memang, seorang mukmin adalah orang yang selalu berusaha menepati dan menyempurnakan janji dan tekadnya, walaupun seringkali terasa berat atas dirinya, bahkan hingga dia harus berpayah-payah, berkorban untuk melakukannya demi mencari keridhoan Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Maidah ayat 1 :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.
Syaikh As-Sa’diy Rahimahullah menerangkan bahwa aqad (perjanjian) yang harus disempurnakan di sini meliputi janji seorang hamba kepada Allah untuk senantiasa mengibadahi-Nya dengan setegak-tegaknya tanpa mengurangi hak Allah sedikitpun. Kemudian janji kepada Rasulullah Saw untuk menta’ati dan ittiba’ kepada beliau, janji kepada kedua orang tua dan kerabat untuk selalu menyambung tali silaturahim, janji kepada istri atau suami untuk saling menunaikan hak masing-masing, dalam keadaan senang maupun susah, kaya atau miskin, serta janji kepada sesama manusia dalam pergaulan bermuamalat.
Di sinilah dibutuhkan mujahadah dan kesungguhan. Dan sesuatu yang diraih dengan kesungguhan, mujahadah, dan kesabaran akan tumbuh rasa cinta kepada yang diraihnya. Akan tumbuh pada dirinya rasa cinta kepada Allah SWT, kepada Rasulullah Saw, kepada orang tua serta kerabatnya, kepada istri dan anak-anaknya. Semakin bertambah mujahadahnya, maka dia akan semakin sayang dengan apa yang telah diraihnya dalam amal kebaikannya, dia senantiasa ingin menambahnya, takut berkurang apalagi kehilangan darinya.
Wallahu a’lam bi ash-showwab.


Rabu, 22 Juli 2009

Memilih yang Terbaik

“ Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. (Yakni) orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar : 17 – 18)Pada ayat di atas, untuk mendapatkan kabar gembira (busyro) berupa surga yang penuh kenikmatan, seseorang harus mendapat petunjuk/hidayah dari Allah dan menjadi seorang ulul albab. Kemudian untuk bisa mendapatkan hidayah dari Allah dan menjadi seorang ulul albab, paling tidak seseorang harus memiliki 3 sifat pada dirinya, yakni :
1.Menjauhi thaghut dengan tidak menyembahnya.
Yakni meninggalkan penghambaan dan peribadahan kepada berhala dan selainnya dari apa yang disembah manusia selain Allah. Sedangkan menurut As-Sa’di, peringatan ini merupakan penjagaan yang paling baik dari Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui terhadap hamba-Nya yang dikasihi. Allah menjaganya dari kesyirikan, dosa terbesar yang tidak akan terampuni yang menyebabkan pelakunay kekal di dlam neraka. Allah Ta’ala telah berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisaa’ : 48 dan 116).

2.Kembali kepada Allah
Yakni kembali bertaubat kepada Allah dengan mengarahkan ibadahnya murni hanya kepada-Nya. Dia berpaling dari penghambaan terhadap berhala kepada penghambaan terhadap Allah, berpaling dari kesyirikan dan kemaksiatan kepada tauhid dan ketaatan. Memang, sebagai manusia seringkali kita berbuat salah dan dosa, baik pelanggaran terhadap hak Allah maupun hak sesama saudara kita. Akan tetapi sebaik-sebaik orang yang berbuat salah dan dosa adalah orang yang mau kembali kepada Allah Ta’ala, kembali kepada bimbingan-Nya melalui Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah Saw pernah bersabda : Kullubnu aadam khatha’. Wa khairul khathaaina at- tawwaabuun. (Setiap anak Adam pernah berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah di antara kita adalah yang mau bertaubat).

3.Memilih yang terbaik
Di dalam ayat 18 dari Surat Az-Zumar tersebut, bahwa orang-orang yang akan mendapat kabar gembira adalah mereka yang mendengarkan perkataan-perkataan, lalu mereka mengikuti yang terbaik dari berbagai perkataan tersebut. Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud Al Qaul di sini adalah mencakup semua jenis perkataan. Mereka mendengarkan berbagai jenis omongan/komentar, lalu dengan akalnya yang sehat dan kokoh mereka mampu membedakan mana yang pantas diikuti dan mana yang harus dijauhi. Dengan kekokohan akal mereka, mereka ikuti yang terbaik, yakni Kalamullah (Al Qur’an) dan Kalamurrasul (Sunnah Rasulullah Saw).
Sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat, kita seringkali mendengar berbagai perdebatan, baik dalam masalah keyakinan/ideologi, sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, hingga masalah bencana alam. Masing-masing orang memberikan pendapat dan berkomentar menurut pemahamannya, bahwa yang terbaik adalah begini. Orang yang lain mengatakan pilih ini saja, ini lebih bagus, dan seterusnya. Setiap kelompok dengan tokohnya masing-masing merasa punya pendapat yang paling benar untuk mengatasi persoalan yang ada.
Seseorang yang memiliki akal yang kokoh dan sehat, yakni seorang ulul albab, dia akan mampu mengenali yang paling baik dari yang lainnya. Dia selalu mengikuti yang terbaik dari perkataan-perkataan yang ada. Dia selalu berpedoman bahwa : ”Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Saw...”
Dengan demikian seorang ulul albab (orang yang akalnya sehat) adalah orang yang senantiasa belajar Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sehingga dia memahaminya dan mengambil petunjuknya. Dia hanya mengambil perkataan, komentar, ide, pemikiran yang memang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih. Ulul albab bukanlah sekedar orang yang dijuluki cendekiawan muslim, yang mana dia ahli dalam ilmu-ilmu dunia yang kebetulan seorang muslim dan berada di sebuah institusi agama.
Sedangkan orang yang tidak pernah membaca dan mempelajari keduanya dengan benar, dia tidak akan paham dan mampu membedakan berbagai perkataan dan komentar secara benar. Kalaupun dia mempelajarinya dia hanya mengambil yang sesuai dengan kemauan dan hawa nafsunya. Bukanlah dia termasuk seorang yang sehat akalnya, bahkan hawa nafsunya telah mengalahkan akalnya. Maka jadilah akalnya itu pengikuti hawa nafsunya. Orang seperti ini kalau dia menjadi pengikut atau pendengar, dia akan mengikuti pendapat yang sesuai hawa nafsunya, sedangkan jika dia berbicara, maka keburukan yang ditimbulkan lebih besar lagi, karena dia akan menularkan kebodohan dan keburukannya kepada orang lain. Na’udzubulillahi min syarri dzalika


Jumat, 03 Juli 2009

Bagi-bagi Pahala

Kira-kira 5 tahun yang lalu kami sekeluarga diberi ujian oleh Allah SWT ketika secara mendadak bapak muntah-muntah sehingga harus di bawa ke rumah sakit. Ketika itu yang yang dituju adalah Rumah Sakit Islam Surakarta, dengan pertimbangan dekat dan ada sepupu yang menjadi perawat di sana. Di rumah sakit, bapak segera ditangani dokter spesialis penyakit dalam, tetapi bapak malah bertambah muntah-muntah, bahkan muntah darah serta buang air besar darah. Hal ini berlangsung selama hampir satu minggu. Ibu yang sangat sabar merawat dan menunggu bapak cukup kerepotan karena bapak dirawat di bangsal kelas II yang berisi 3 pasien. Sementara bapak setiap saat bisa muntah dan berak darah, sehingga Ibu harus bolak-balik ke kamar mandi, membersihkan tempat tidur, baju, disamping merasa nggak enak dengan pasien sebelah. Dengan pertimbangan inilah akhirnya diputuskan bapak dipindah ke ruang perawatan Kelas I.
Seminggu bapak di rumah sakit, muntah dan berak darah, penyakit belum jelas. Aku sendiri mesti bola-balik Jogja Solo, siang dari kampus langsung ke Solo, malam atau kadang setelah subuh balik Jogja. Dari cek darah bapak, kadar HB terus menurun, bahkan hingga mencapai angka 3. Padahal untuk seorang pria normal, kadar HB haruslah sekitar angka 12. Aku sendiri nggak begitu paham dengan istilah ini. Karena itu rumah sakit meminta donor darah. Aku segera hubungi teman-teman, tetangga, teman saudara. Donor harus dilakukan karena bapak harus diendoskopi untuk bias mengetahui penyakitnya dengan jelas. Padahal untuk bisa diendoskopi kadar HB harus paling tidak 9 atau 10. Tiap kali donor darah, HB bapak naik sedikit, tetapi kemudian muntah darah lagi, HB turun lagi. Padahal untuk ngambil darah, aku mesti bolak-balik dari RSI yang berada di Pabelan Kartasura ke PMI yang berada di Jebres (Solo Timur). Akhirnya setelah habis darah dari sekitar 10 pendonor, HB bapak dinyatakan cukup memenuhi syarat untuk diendoskopi. Kami cukup deg-gegan menunggu keputusan dokter. Malam itu aku pulang ke Jogja, karena anak istriku juga mesti kuurus.

Besok paginya aku ke Solo lagi, ternyata bapak divonis mengidap penyakit Sirosis Hepatis, penyakit yang baru kali sekali itu aku dengar. Setelah cari info sana-sini, tanya teman, browsing internet, sirosis adalah tingkatan penyakit hati (lever) paling kronis, Masya Allah. Aku sempat heran, seperti gak percaya, wong bapak tidak pernah punya riwayat sakit lever, hepatitis atau semacamnya, kok tahu-tahu lever paling kronis. Tapi apa daya, namanya orang gak paham penyakit, nurut saja sama bu dokter spesialis yang ahli. Demikianlah, akhirnya perawatan dan pengobatan bapak diarahkan untuk mengatasi penyakit mengerikan ini. Selama itu donor darah jalan terus, demikian pula obat yang paling ampuh untuk sirosis, yang sekali suntik 300an ribu pun dipakai. Tetapi bapak tetap nggak ada kemajuan. Saat perawatan masih berjalan, bu dokter ada acara ke luar negeri, sehingga perawatan dilanjutkan oleh dokter yang lain. Pak dokter yang ini lebih senior, semoga lebih berpengalaman dan tepat dalam tindakan.

Kira-kira hari keduapuluh, dokter meminta donor lagi, aku bilang ke ibu, beliau menolaknya. Kata ibu : sudahlah, pasrah sama Allah, kasihan yang donor. Sudah sekian banyak yang donor, bapak tetap muntah dan berak darah lagi. Malam itu bapak terlihat sangat lemah, antara sadar dan tidak. Aku minta semua orang keluar dari ruangan. Aku ingin menyendiri dengan bapak. Aku mulai membaca Al Qur’an untuk membuat suasana lebih baik, kemudian mulai mentalqin bapak dengan kalimat thayyibah, pelan-pelan, berulang-ulang. Aku mendengar bapak menirukan pelan-pelan, kemudian sesaat beliau terdiam, agak lama. Aku diam deg-degan, tapi hati ini sudah ikhlas kepada Allah apapun keputusan-Nya. Tetapi tiba-tiba terdengar samara-samar suara bapak memanggilku, … Dik !. Aku kaget, ternyata Allah masih memberi kesempatan kepada beliau. Laa haula walaa quwata illa billah.

Besok paginya aku tidak pulang ke jogja. Kuminta Ninu adikku mengecek tagihan di rumah sakit. Terhitung pada hari 20 waktu itu tagihan telah mencapai 17 juta rupiah, Masya Allah. Kusampaikan ke ibu, beliau pasrah. Aku berpikir keras, bagaimana kami bisa mendapat uang sebesar itu. Aku juga mulai berpikir untuk mencari pengobatan alternatif non medis, tetapi yang tidak melangar syariat. Kemudian aku menelpon ustadz untuk mendapatkan penjelasan tentang syarat pengobatan non medis secara syar’i, yakni tidak boleh memakai ritual syirik/bid’ah dan memakai barang yang halal.

Beberapa hari ditangani dokter yang baru belum ada kemajuan yang berarti pada penyakit bapak. Kira-kira pada hari ke 21, akhirnya dokter yang kedua menyerah, beliau merujuk kepada Dokter Yuli di RS Moewardi Jebres untuk menangani bapak. Pada hari itu juga bapak dibawa ke RS Moewardi. Dokter Yuli rupanya penasaran dengan penyakit bapak setelah memeriksa hasil foto dari RS Yarsis. Beliau pun meminta bapak diendoskopi. Sebelumnya HB harus dinaikkan, maka donor darah pun dilakukan lagi. Ketika itu kira-kira donor yang ke-20an. Alhamdulillah HB bapak segera naik, sehingga endoskopi segera bisa dilakukan, yakni di RS dr. Oen. Dari hasil endoskopi, Dokter Yuli menyimpulkan bahwa penyakit bapak bukan sirosis hepatis, melainkan adalah Melena, yakni luka pada lambung yang menyebabkan kebocoran. Luka ini harus ditutup yang tekniknya adalah dengan semacam dipatri lambungnya melalui endoskopi. Subhanallah.
Kami pun geleng-geleng kepala, berarti apa yang dilakukan selama 3 mingguan di Yarsis itu tidak ada artinya, bahkan obat yang paling ampuh telah diinjeksikan ke bapak. Semua itu tidak ada pengaruhnya karena memang penyakitnya bukan itu. Padahal kami masih harus melunasi tagihan yang 17 juta tersebut. Tapi sudahlah, Allah yang telah memberi jalan seperti itu yang harus kami jalani dengan ikhlas.

Pada hari pertama di Jebres, aku teringat pada mahasiswaku yang bernama Kurniawan yang rumahnya di Karanganyar. Dia sering cerita tentang bapaknya yang ahli tanaman obat. Aku pun segera meluncur mencari rumah Pak Pujo (bapaknya Kurniawan). Sesampainya di sana, aku ceritakan riwayat penyakit bapak kepada Pak Pujo. Beliau akhirnya memberi 1 bungkus ramuan jamu yang berasal dari tanaman obat yang banyak terdapat di halaman rumahnya, gratis, beliau betul-betul tidak mau dibayar. Jamu itu harus direbus, kemudian airnya diminumkan ke pasien. Malam itu bapak meminum ramuan jamu dari Pak Pujo. Subhanallah, paginya bapak tidak muntah lagi dan beraknya berubah warna menjadi kehitam-hitaman, sesuai dengan yang dikatakan Pak Pujo. Akhirnya pengobatan dilakukan secara terpadu, yakni secara medis dan ramuan jamu herbal dari Pak Pujo. Alhamdulillah dengan ijin dan pertolongan Allah, tidak sampai 10 hari di RS Moewardi bapak sudah diijinkan pulang oleh dokter.

Setelah itu kondisi bapak semakin sehat dari penyakitnya setelah beberapa kali kontrol ke rumah sakit. Kami sungguh bersyukur atas ujian dan sekaligus nikmat dari Allah ini. Sungguh semua ada hikmahnya ketika kami sekeluarga harus sedemikian panjang menemani bapak dirawat di rumah sakit, total sekitar 30 hari. Dengan sakitnya bapak, demikian banyak orang yang berkesempatan meraih pahala dari Allah Ta’ala. Mulai dari para donor darah yang mencapai 25-an orang, segenap keluarga, tetangga, teman-teman yang menjenguk bapak (untuk mengamalkan sunnah rasulullah) yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil, semoga Allah melipatgandakan kebaikan mereka semua.

Kemudian bagi adik-adikku, ada pelajaran berharga dari pengalaman ini, kalian jadi semakin dewasa, Ninu, Seno, Risa. Kalian yang setiap saat mendampingi bapak dan ibu selama di rumah sakit, melayani kebutuhan-kebutuhannya. Aku sendiri selama itu mesti bolak-balik Jogja-Solo, karena memang pekerjaan tidak sepenuhnya bisa ditinggal, juga istriku yang dengan penuh kesabaran dan perhatian harus sering kutinggal, ngurus rumah dan anak sendirian. Semoga Allah melimpahkan pahalanya, ketika kita harus berkhidmat, berbakti kepada orang tua.

Kemudian yang paling tinggi kesabarannya ketika itu adalah ibu, yang dengan setia dan ikhlas menemani bapak siang malam di rumah sakit. Beliau melayani bapak, menyuapi, membersihkan badan, membersihkan kotoran dengan penuh kesabaran dan ikhlas hanya karena Allah. Semoga Allah Ta’ala menyayangi mereka berdua sebagaimana mereka telah menyayangi kami, anak-anaknya dari waktu kecil hingga sekarang dan selamanya. Semoga Allah Ta’ala memberikan pahala, meninggikan derajat dan menghapuskan dosa-dosa bapak dan ibu yang dengan penuh kesabaran menerima ujian dan cobaan dari Allah. Amiin.

Selasa, 12 Mei 2009

Falsafah Pohon


Dalam ilmu fisiologi pohon, dikenal istilah pertumbuhan primer dan pertumbuhan sekunder. Pertumbuhan primer adalah pertumbuhan meninggi/memanjang yang terjadi di ujung cabang dan ujung akar. Pertumbuhan ini terjadi pada titik-titik apikal (ujung cabang dan ujung akar) ini hanya berlangsung pada bagian ujung saja, tidak di seluruh bagian pohon. Artinya pembelahan sel-sel apikal hanya berlangsung pada bagian ujung cabang dan aujung akar. Sebagai ilustrasi, jika kita menancapkan paku pada batang pohon setinggi 1 meter, maka 5 tahun lagi ketika pohon sudah tumbuh tinggi, paku tersebut tetap setinggi 1 meter. Gak percaya ? Coba saja.

Pertumbuhan yang kedua adalah pertumbuhan sekunder, yakni pertumbuhan ke samping atau pertambahan diameter pohon. Pertumbuhan pohon diawali dengan naiknya air dan unsur hara dari dalam tanah untuk dibawa ke daun di bagian tajuk pohon. Naiknya air dan unsur hara ini dilakukan oleh jaringan pembuluh pada bagian kayu gubal, dimana sel-sel pada bagian kayu ini masih aktif secara fisiologis. Sesampainya di bagian tajuk, oleh daun, unsur hara dan air tadi dimasak melalui proses fotosintensis. Disebut fotosintesis karena proses ini hanya bisa berlangsung dengan bantuan sinar matahari.Hasil dari fotosintesis adalah zat-zat yang dibutuhkan untuk perkembangan pohon. Selanjutnya hasil pemasakan tersebut diedarkan ke seluruh bagian pohon tanpa kecuali, adil dan merata sesuai dengan proporsinya. Jika dilihat dari penampang membujur maka akan nampak pertambahan lapisan pertumbuhan sekunder seperti selubung-selubung di seluruh bagian, baik batang pokok, cabang, ranting dll. Daun sebagai produsen makanan tidak memonopoli hasil pemasakan ini. Bayangkan jika daun lebih mengutamakan bagian tajuk/daun, maka pohon akan kelebihan beban dan batangnya kecil dan rapuh, akhirnya mudah roboh. Atau sebaliknya semua hasil pemasakan dibawa di batang pokok, batang pohon akan besar, kokoh tapi tak berumur lama, sebab bagian tajuk akan kurus, sehingga tidak bisa memproduksi makanan lagi secara optimal.

Inilah falsafah dari pohon yang mungkin bisa jadi bahan renungan, terutama bagi pengurus negeri ini dan kita semua. Jika hasil kekayaan negeri ini dikelola dan didistribusikan secara adil merata secara proporsional bagi seluruh elemen negeri, insya Allah semuanya akan berjalan dengan baik, nyaman, teduh, kokoh. Bagi kita masyarakatnya, jika tumbuh dan ada kesadaran untuk tidak egois, suka berbagi kepada yang lemah, orang yang kaya memberikan sebagian harta kepada si miskin, insya Allah kehidupan akan enak, nyaman, solid dan penuh ridho. Wallahu a'lam.


Senin, 11 Mei 2009

Nama dari Allah

Hasbunallah wa ni'mal wakil (Cukuplah bagi kita Allah, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung). Dengan ayat ini, mestinya sebagai seorang beriman, kita harus selalu merasa cukup dengan yang diberikan Allah SWT. Allah ciptakan kita dengan keadaan fisik kita, kita ridho. Allah karuniakan rezeki pada kita sesuai kehendaknya, kita ridho. Allah berikan kesehatan maupun sakit, kita ridho dengan ketetapan-Nya. Dan mestinya kita juga merasa cukup dengan pemberian nama dan sebutan dari Allah Ta'ala. Yakni bagi siapa saja yang berserah diri kepada Allah, kepada hukum dan syari'at-Nya dan tunduk hanya kepada-Nya dengan sebutan nama "MUSLIM atau MUSLIMIN".
Muslim adalah setiap orang yang berkomitmen, berjanji, berikrar kepada Allah, bahwa dia sanggup memikul dien Allah (Al-Islam)yang memuat syari'at-syari'at Allah dengan ikhlas dengan cara mengikuti petunjuk Rasul-Nya. Istilah "Muslim" ini berlaku bagi seluruh umat dan generasi yang memiliki sikap dan sifat seperti tersebut di atas, sejak zaman dahulu (Rasul pertama) hingga kita hari ini umatnya Rasulullah Muhammad Saw. Allah telah menyatakan di dalam QS. Al-Hajj :78
Artinya : “…Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini…”.
Muslim, itulah sebutan dan nama buat kita orang-orang yang beriman kepada Allah Ta'ala. Dan nama ini adalah pemberian Allah langsung, bukan dari yang lain, bukan bikinan manusia. Maka mestinya kita merasa cukup dengan hal ini, tanpa menambah-nambahi, seakan kita nggak puas dengan pemberian Allah Ta'ala, lantas kita membikin istilah, menambahi yang menurut kita lebih pantas, lebih dari sekedar sorang muslim atau petimbangan yang semacamnya. Padahal mestinya kita mantap dan berbangga dengan status kita sebagai seorang muslim. Seperti Firman Allah Ta'ala :
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang muslim (menyerahkan diri kepada Allah)?" (QS. Fushillat : 33)
Apabila ternyata ada orang atau sekelompok orang yang keliru aqidahnya, keliru amalnya dan buruk akhlaqnya, kok ya memakai sebutan islam dan muslim, ya itu urusan mereka dengan Allah. Allah yang lebih tahu niat mereka. Kewajiban kita menasihati mereka agar kembali kepada Islam sebagaimana mestinya untuk menkadi seorang muslim yang baik dan juga memperingatkan muslimin yang lain agar tidak ikut-ikutan dengan keyakinan dan amalan mereka. Bukan malah kita membikin istilah-istilah nama yang baru dan lain untuk diri kita dengan alasan untuk menyelisihi mereka yang menyimpang. Karena biasanya ketika yang dianggap paling benar misalnya Muslim A, maka nanti semua akan mengaku Muslim A, bahkan termasuk yang dianggap nyimpang tadi ikut-ikutan ngaku sebagai Muslim A. Trus kita harus bikin istilah yang baru lagi agar bisa dibedakan, misal Muslim AB. Terus nama/istilah inipun nantinya juga akan banyak yang memakai, sampai yang nyimpang pun juga pakai. Demikian seterusnya, jika kita merasa harus selalu berbeda "sebutan/nama" dari kelompok yang menyimpang yang bisa membikin umat Islam bertambah semakin bingung, karena mereka merasa belum kenal, harus belajar dari awal lagi dan seterusnya. Padahal jika kita membaca dan mempelajari Al-Qur'an dan As-sunnah Rasulillah, insya Allah kita akan paham siapa kita, apa yang harus kita lakukan untuk keselamatan kita, kewajiban kita kepada Allah, kepada Rasul, kepada orang tua, kerabat, manusia yang lain dan sebagainya. Dan yang pasti muslimin bertambah ukhuwahnya, persatuannya, tidak berpecah belah, dan terkotak-kotak.
Sekali lagi cukuplah bagi kita Allah, dan setiap apa yang Allah berikan untuk kita. Wallahu a'lam.

Selasa, 28 April 2009

Mari Kita Amalkan

1. Dari Ibnu Mas'ud RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Hendaklah kalian selalu melakukan kebenaran, karena kebenaran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunut ke surga. Jika seseorang selalu berbuat benar dan bersungguh dengan kebenaran, ia akan ditulis di sisi Allah swt sebagai orang yang sangat benar. Jauhkanlah dirimu dari bohong, karena bohong akan menuntun kepada kedurhakaan, dan durhaka itu menuntun ke neraka. Jika seseorang selalu bohong dan bersugguh-sungguh dengan kebohongan, ia akan ditulis di sisi Allah swt sebagai orang yang sangat pembohong.'' Hadis muttafaqun'alaih.

2. Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan yang paling bohong.'' Hadis Muttafqun'alaih.

3. Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali silaturahim.'' Hadis riwayat Bukhari.

4. Dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda, ''Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba (dikatakan) beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.'' Hadis Muttafaqun'alaih.

5. Ibnu Mas'ud RA berkata, ''Aku bertanya kepada Rasulullah saw, dosa apakah yang paling besar? Beliau bersabda, ''Engkau membuat sekutu bagi Allah, padahal Dia lah yang menciptakanmu.'' Aku bertanya lagi, ''Kemudian apa? Beliau bersabda, ''Engkau membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu.'' Aku bertanya lagi, ''Kemudian apa? Beliau bersabda,''Engkau berzina dengan istri tetanggamu.'' Hadis Muttafaqun'alaih.

6. Dari Abi Ayyub RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seorang berpaling dan lainnya juga berpaling. Yang paling baik di antara keduanya ialah memulai mengucapkan salam.'' Hadis muttafaqun'alaih.

7. Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah SWT akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; barangsiapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah SWT akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat; dan barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, Allah SWT akan menutupi (aibnya) di dunia dan akhirat; dan Allah SWT akan menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.'' Hadis riwayat Muslim. disarikan dari Tarjamah Hadis Bulughul Maram Terbitan Gema Risalah Press Bandung



Jumat, 03 April 2009

Pahala yang Mengalir

Hidup di dunia ini singkat, bahkan sangat singkat jika dibandingkan dengan di akhirat. Walaupun ada orang yang merasa selalu belum puas, dan ingin terus memuas-muaskan diri karena merasa punya fasilitas, ingin hidup lebih lama lagi. Sebaliknya ada orang sakit, menderita, dia merasa deritanya kok nggak habis-habis. Padahal yakinlah bahwa kesenangan dan penderitaan apapun di dunia ini bakal berakhir. Yang harus dipikirkan adalah setelah manusia mati, akankah dia mendapatkan kesenangan atau penderitaan ? Semua ditentukan di dunia yang singkat ini.

Di sisi yang lain, kenikmatan di akhirat yang berujud jannah atau surga yang ketika seorang telah memasukinya akan bahagia selamanya adalah sesuatu yang amat mahal. Hanya orang-orang yang dikasihi Allah-lah yang bisa memasuki surga. Untuk bisa dikasihi Allah seseorang harus mau dan sanggup tunduk dan taat kepada-Nya, walaupun harus menyerahkan apapun yang dimiliki kepada Allah. Allah SWT membuat permisalan surga-Nya sebagai alat pembayar atas setiap yang dimiliki seorang hamba yang dipersembahkan kepada Allah. Didalam QS. At Taubah (9) ayat 111 Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan surga."
Rasulullah Saw juga telah memberikan kiat-kiat untuk meraih surga yang mahal dengan hidup kita yang singkat ini, yakni dengan menjadikan di antara amal-amal menjadi aset yang tak pernah berhenti menyetorkan pahala kepada kita. Di dalam hadits yg Shahih Rasulullah bersabda :"Ketika seorang anak Adam mati, terputuslah semua amalnya kecuali 3 perkara, yakni (1) Shodaqoh jariyah, (2) Ilmu kebaikan yang bermanfaat dan (3) Anak yang shalih yang senantiasa berdo'a untuknya.
Dengan demikian, mestinya kita memusatkan perhatian kepada ketiga hal tersebut di samping kewajiban-kewajiban kita ketika masih hidup, bagaimana membelanjakan harta untuk manfaat Islam dan muslimin, menuntut ilmu syar'i untuk diamalkan dan diajarkan dan ilmu yang bisa bermanfaat lainnya, serta mendidik anak-anak kita dengan benar sesuai dienul Islam. Selagi aset kita masih dimanfaatkan dan diamalkan, insya Allah kita masih mendapat aliran pahala yang akan mendatangkah rahmat Allah untuk menebus surga yang mahal dan tinggi.

Istiqomah Saat Senang dan Susah

Manusia dikaruniai oleh Allah sesuatu yang sangat berharga yang membedakan dirinya dengan makhluk lain, yakni akal pikiran. Dengannya manusia mampu mengembangkan potensi dirinya dalam meningkatkan kualitas kehidupannya. Akan tetapi yang paling berhak untuk menentukan apakah kehidupan seseorang itu berkualitas, bermakna serta bermanfaat adalah Allah SWT. Dalam hal kemampuan manusia untuk menggunakan akal pikirannya tersebut, Allah SWT pun memberi suatu gelar yang amat agung yang kelak akan menempati kemuliaan di akhirat, yakni Ulul Albab.

Ulul Albab, suatu gelar nan agung dari Allah, Zat yang menciptakan dan menguasai alam semesta beserta isinya. Tidak ada suatu gelar pun di dunia ini yang dibikin oleh manusia yang lebih menjamin akan kemuliaan penyandangnya selain Ulul Albab. Sementara banyak dari kalangan kita, baik itu secara individu maupun kelompok yang merasa serta mengklaim sebagai generasi ulul albab. Terutama kita yang di kalangan akademik atau kampus yang merasa bahwa kitalah yang paling cerdas, yang mampu menggunakan akal, yang merasa mampu membuat terobosan-terobosan dalam agama ini. Dengan prestasi-prestasi, IPK tinggi, kegiatan lomba, ide-ide maupun slogan-slogan kita merasa bahwa kitalah ulul albab.
Namun tentu saja Allah-lah yang paling berhak menentukan kriteria-kriteria tersebut. Sebelum kita mengklaim diri kita sebagai Ulul Albab, kita hendaknya bercermin dengan beberapa ayat Allah tentang kriteria ataupun sifat seorang ulul albab dengan prasyarat kita harus yakin dengan Al Qur’an. Bagi yang tidak yakin dengan kebenaran Al-Qur’an, maka dia di luar konteks pembicaraan ini.

Paham akan Kehendak Allah, Susah maupun Senang
Seorang yang mendapat gelar Ulul Albab dari Allah di antaranya adalah orang yang mampu meluruskan setiap amal dan ibadahnya hanya kepada Allah dalam setiap keadaannya, yakni dikarenakan dia khawatir dengan nasibnya di akhirat dan mengharapkan rahmat Allah. Hal ini dia lakukan karena kepahamannya akan ilmu. Firman Allah dalam Surat Az-Zumar (39) ayat 9 :
“Ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri karena dia takut dengan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah : “Adakah sama orang-orang yang mengeahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah (ulul albab) yang dapat mengambil pelajaran.”

Sementara itu, sebagian orang ada juga yang beribadah, berdoa dengan khusyuk, merendah kepada Allah karena dia sedang mengalami kesulitan ataupun sangat mengharapkan sesuatu. Namun ketika Allah memenuhi permohonannya, dia menjadi lupa bahwa dulu dia meminta-minta kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat sebelumnya pada Surat Az-Zumar :
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; Kemudian Apabila Allah memberikan ni’mat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang dia pernah berdoa sebelum itu, dan dia mengada-adakan bagi Allah bandingan-bandingan untuk menyesatkan dari jalan-Nya. Katakanlah :”Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sebentar saja; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.”(QS. Az-Zumar (39): 8)

Dari kedua ayat di atas terlihat bahwa kedua macam orang tersebut sama-sama beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, namun yang membedakan adalah kepahaman akan tujuan dari penghambaan diri kepada Allah SWT.
Golongan pertama merasa butuh kepada Allah ketika dia mengalami kesulitan maupun keinginan-keinginan. Ketika Allah memberikan ni’mat-Nya, dia lupa. Dalam suasana yang dia sukai, dia melupakan doa dan permohonan yang sungguh-sungguh itu. Sebagaimana firman-Nya :”Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling.” (QS. Al-Isro’ (17): 67).
Bahkan dia membuat bandingan-bandingan (sekutu) bagi Allah, bahwa berkat dirinyalah dia bisa memperoleh apa yang dia inginkan.
Saudaraku, betapa banyak dari kita yang merasa bahwa keberhasilan kita dalam studi, mendapat sekolah favorit, lulus menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan, gaji tinggi, dan sebagainya adalah berkat jerih payah kita, kecerdasan kita, kiat-kiat kita semata yang semuanya itu merupakan bandingan (sekutu) bagi Allah. Sementara kita menjadi lupa bahwa Allah yang memberi itu semua. Semuanya itu pada akhirnya membuat kita merasa takabbur dengan diri kita. Padahal dulu ketika kita masih susah, belum dapat sekolah, belum lulus-lulus, masih nganggur kita rajin berdoa dan berharap kepada Allah. Saudaraku, inikah yang dinamakan generasi Ulul Albab? Subhanallah, ketahuilah bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah dengan kesombongannya, mereka tidak lama meni’mati kekufurannya, seperti firman-Nya :”Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. Luqman : 24).
Lantas, apakah sama antara orang-orang yang membuat bagi Allah bandingan serta saingan dengan orang-orang yang taat, tunduk kepada Allah lantaran khawatir akan nasibnya di akhirat dan mengarap rahmat-Nya? Tentu saja tidak sama. Orang-orang yang bisa menyikapi penderitaan dan kesenangan yang dialami, yakni dikembalikan kepada Allah, itulah yang bisa mengambil pelajaran.

Mujahadah untuk Ngaji

Al ‘ilmu yu’ta wa laa ya’ti (Ilmu itu didatangi, tidak mendatangi), demikian perkataan dari Imam Malik Rahimahullah. Ini merupakan bagian dari adab terhadap ilmu yang penting. Sehingga seorang yang menginginkan ilmu disebut murid, yang berarti seseorang yang menginginkan (ilmu). Sebutan lainnya yang lebih mantab adalah tholabul ilmi, yang berarti seorang yang menuntut, mencari, bagaimana caranya bias mendapat ilmu. Maka sudah semestinya bagi seorang yang menginginan ilmu dia menjalani tertib ini, agar supaya ilmu/pengetahuan yang didengar, dilihat dan dicatat bisa lebih berkesan dan kokoh pada dirinya.
Tertib inilah yang telah dijalani para pendahulu kita yang shalih (salafush shalih) dalam menuntut ilmu. Bagaimana seorang shahabat, yakni Jabir bin Abdullah r.a. yang membutuhkan waktu 1 bulan perjalanan untuk menemui Abdullah bin Unais demi mendapatkan 1 buah hadits, hanya untuk itu saja. Habis itu beliau pulang. Bahkan seorang ulama yang bernama Al-Khatib Al-Baghdadi telah menulis kitab yang berisi kisah perjalanan para ulama dalam mencari hadits, yakni kitab Rihlahul Ulama lil Hadits.

Padahal kalo kita berpikir, situasi dan kondisi pada zaman dahulu dengan sekarang sangat jauh berbeda, baik dalam hal medan, fasilitas, keamanan, fisik dll. Zaman dahulu medan sangat berat, naik turun gunung, berbatu-batu, padang pasir, panas, hujan, jarak puluhan bahkan ratusan kilometer. Kendaraan yang ada hanya onta, kuda bahkan jalan kaki. Keamanan di perjalanan sangat tidak terjamin, dari binatang buas maupun manusia buas. Mengapa mereka para ulama terdahulu bisa dan mau menempuh semua hal itu ?

Sedangkan kita pada hari ini sangat berbeda, fasilitas banyak dan mudah, kendaraan tersedia ber-AC pula, ada komputer, laptop, berbagai software, multimedia, orang 'alim (ulama) juga banyak, majelis ta'lim dimana-mana dengan berbagai menunya, dan berbagai kemudahan lainnya. Akan tetapi kenapa dengan banyaknya kemudahan dari Allah ini kebanyakan kita dan kaum muslimin justru tidak banyak mengambil manfaat sehingga kaum muslimin menjadi semakin melek dengan agamanya, semakin kuat hasrat untuk mengamalkan dan membelanya. Kenapa ?
Jawabnya adalah kurangnya kesungguhan untuk berkorban, ngrekoso - walaupun cuma sedikit dan sangat jauh jika dibandingkan ulama terdahulu - yang kita kerahkan. Hari ini kita mudah-mudah untuk absen dari datang ngaji, entah dengan alasan capek, sibuk, hujan. Padahal ustadznya juga harus berjalan dari rumahnya, meluangkan waktunya, istirahatnya. Kebanyakan majelis ta'lim/ngaji saat ini tidak dilaksanakan di rumahnya ustadz, sehingga kedua-duanya, baik ustadz maupun murid harus pergi dari rumahnya, meninggalkan keluarganya, menerobos panasnya matahari dan dinginnya malam. Kenapa kita tidak ingat kaidah berilmu yang disampaikan Imam Malik di atas ? Subhanallah.
Memang, kecintaan seseorang akan sesuatu selalu seiring dengan tingkat pengorbanannya. Semakin dia menjalani kepayahan, capek, ngantuk, keluar uang, tinggalkan sementara orang yang dicintai untuk meraih sesuatu, maka dia akan semakin cinta dengannya, semakin bersikap mementing-mentingkan. Dia merasa kecewa jika melewatkannya, tidak bertemu dengannya. Demikian pula halnya dengan kecintaan terhadap ilmu dan majelis ilmu. Kalo orang dikit-dikit ijin, pamit, atau bahkan tidak pamit kepada mu'alimnya, yaa ilmu dan majelis ilmu sebatas samben saja, jika sempat yang datang, jika nggak ya gak masalah. Toh masih ada kesempatan pekan depan, katanya. Padahal umur seseorang hanya Allah yang tahu, dan kesempatan tidak akan berulang.
Semoga Allah beri kekuatan pada kita, agar menjadi orang yang punya kekuatan hati, tekad, kesabaran sehingga mampu menggerakkan badan ini untuk menuntut ilmu, beramal, dan berdakwah. Amiin.