Rabu, 05 Agustus 2009

PENYESALAN ANAS BIN AN-NADHR

Imam Bukhari dam Muslim meriwayatkan yang bersumber dari Anas bin Malik yang menceritakan tentang pamannya yang bernama Anas bin An-Nadhr. Ketika itu perang Badar telah usai dengan kemenangan di tangan kaum muslimin. Anas bin An-Nadhr yang saat itu tidak ikut berangkat perang datang menemui Rasulullah Saw seraya berkata : “ Wahai Rasulullah, aku telah absen dari perang yang pertama dimana Engkau memerangi orang musyrik. Sungguh jika Allah mempertemukan aku dengan perang yang lain untuk melawan orang musyrik, benar-benar Dia akan melihat apa yang akan kulakukan. Maka tatkala perang Uhud, dimana kaum muslimin kocar-kacir meninggalkan tempat tugasnya, Anas bin An-Nadhr berkata : “Ya Allah, aku mintakan maaf atas apa yang diperbuat oleh para sahabatku, dan aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh orang-orang musyrik yang memerangi Rasul-Mu”. Kemudian dia melangkah maju ke medan pertempuran seorang diri. Saat itu dia bertemu dengan Sa’ad bin Muadz, lalu berkata : “Hai Sa’ad, demi Rabbku, aku mencium bau surga dari arah Uhud”. Ketika berjumpa dengan Rasulullah Sa’ad berkata : “Wahai Rasulullah, aku tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukan oleh Anas bin An-Nadhr”.
Di akhir perang Anas bin Malik bercerita : “Kami mendapatinya telah terbunuh dengan 80 lebih luka, baik dari pedang, tombak maupun anak panah. Tidak hanya itu, wajahnya pun telah dicincang oleh orang-orang musyrik, sampai-sampai tidak ada yang mampu mengenalinya lagi, kecuali saudara perempuannya melalui ciri dari ujung jarinya.
Anas bin An-Nadhr tidak ikut berangkat perang Badar karena memang pada saat itu Rasulullah Saw tidak mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk berangkat. Saat itu Rasulullah hanya hendak menghadang kafilah orang-orang musyrik. Akan tetapi hal ini telah membuat Anas bin An-Nadhr sangat menyesal, sehingga dia pun berjanji kepada Allah untuk berbuat yang lebih baik dan lebih hebat. Janji itu pun ditepatinya, sehingga para sahabat meyakini bahwa salah satu ayat Allah di Surat Al-Ahzab ayat 23 turun berkenan dengan Anas bin An-Nadhr :
“di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah … “
Subhanallah, betapa sebuah penyesalan saat tertinggal dari amal kebaikan ternyata mampu menumbuhkan motivasi yang kuat dan membuahkan tekad untuk menebus ketinggalannya. Bahkan untuk lebih meyakinkan, tekad tersebut kadang perlu diikrarkan sebagai sebuah janji hingga kepada Allah sekalipun. Masih jauh dari apa yang telah dijalani oleh Anas bin An-Nadhr, pernahkah kita merasa menyesal, merasa kehilangan, saat tertinggal dalam amalan-amalan kita, sementara saudara-saudara kita bisa dan mampu melakukannya ? Saat kita tertinggal dari sholat jama’ah, tilawah Al-Qur’an, mendatangi ta’lim, muraja’ah ilmu, hafalan, shodaqoh dan sebagainya. Apakah justru kita merasa tenang-tenang saja, kita merasa cukup dengan apa yang telah kita lakukan ? Kemudian kalaupun kita menyadari dan menyesali kekurangan kita, apakah hal itu mampu membangkitkan motivasi dan tekad untuk mengejar ketinggalan kita ? Motivasi adalah buah dari keyakinan yang disertai semangat dan rela berkorban. Inilah yang dimiliki oleh seorang Anas bin An-Nadhr, keyakinannya akan janji Allah berupa kenikmatan surga telah menumbuhkan semangat untuk meraihnya sekalipun dia harus mengorbankan dirinya di jalan Allah. Dan inilah yang mestinya dimiliki oleh setiap muslim. Bagaimana ilmu dien yang telah dimiliki mampu menumbuhkan keyakinan, sehingga bisa menyalakan tekad dan semangat untuk mengamalkannya.
Memang, seorang mukmin adalah orang yang selalu berusaha menepati dan menyempurnakan janji dan tekadnya, walaupun seringkali terasa berat atas dirinya, bahkan hingga dia harus berpayah-payah, berkorban untuk melakukannya demi mencari keridhoan Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Maidah ayat 1 :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.
Syaikh As-Sa’diy Rahimahullah menerangkan bahwa aqad (perjanjian) yang harus disempurnakan di sini meliputi janji seorang hamba kepada Allah untuk senantiasa mengibadahi-Nya dengan setegak-tegaknya tanpa mengurangi hak Allah sedikitpun. Kemudian janji kepada Rasulullah Saw untuk menta’ati dan ittiba’ kepada beliau, janji kepada kedua orang tua dan kerabat untuk selalu menyambung tali silaturahim, janji kepada istri atau suami untuk saling menunaikan hak masing-masing, dalam keadaan senang maupun susah, kaya atau miskin, serta janji kepada sesama manusia dalam pergaulan bermuamalat.
Di sinilah dibutuhkan mujahadah dan kesungguhan. Dan sesuatu yang diraih dengan kesungguhan, mujahadah, dan kesabaran akan tumbuh rasa cinta kepada yang diraihnya. Akan tumbuh pada dirinya rasa cinta kepada Allah SWT, kepada Rasulullah Saw, kepada orang tua serta kerabatnya, kepada istri dan anak-anaknya. Semakin bertambah mujahadahnya, maka dia akan semakin sayang dengan apa yang telah diraihnya dalam amal kebaikannya, dia senantiasa ingin menambahnya, takut berkurang apalagi kehilangan darinya.
Wallahu a’lam bi ash-showwab.


1 komentar:

  1. Subhanallah..kisah yang inspiratif. Jazakallah Ustadz... apa kabar? Lama tak jumpa.. sudah lama saya absen di Al-kaustar. beberapa kali ada keperluan, terus ke Malaysia. MasyaAllah, rugi juga gak bisa menghadiri majelis ilmu. Bisa gak ya penyesalannya seperti kisah sahabat itu..hehe

    BalasHapus