Jumat, 16 Oktober 2009

Ikatan

Ketika mengeringkan sebuah papan kayu, seringkali kita mendapati kayu tersebut menjadi menyusut, melengkung, kadang-kadang pecah, muntir dan sebagainya. Hal ini terjadi akibat dari perilaku air yang berada di dalam kayu. Keberadaan air di dalam kayu ada 2 macam kondisi, yakni sebagai air bebas dan air terikat. Disebut air bebas karena air ini berada di ruang yang bebas yang tidak terikat dengan bagian zat kayu, yakni di dalam rongga sel kayu. Sedangkan air terikat terdapat secara menyatu di dalam dinding sel kayu yang saling berikatan.
Saat mengeringkan kayu dari keadaan basah, air yang keluar terlebih dahulu dari kayu adalah air bebas dari rongga sel. Air ini dengan mudah bisa keluar tanpa banyak menimbulkan dampak pada papan kayu, apalagi jika kayunya termasuk kayu yang porous (ringan), banyak porinya. Hal ini terus berlangsung sampai seluruh air di dalam rongga sel keluar. Apabila proses pengeringan dilanjutkan, maka tinggal air terikat yang belum keluar. Air ini akan keluar lebih lambat dan lebih sulit daripada air bebas. Pengeluaran air terikat inilah yang akan menimbulkan beberapa dampak kerusakan pada kayu, seperti penyusutan, melengkung, pecah, muntir dll sebagai konsekuensi bahwa kayu merupakan material organik yang relative tidak stabil, mudah dipengaruhi lingkungan. Semakin kuat ikatan antar elemen air dan dinding sel kayu, maka kemungkinan kerusakan yang ditimbulkan akan semakin besar.

Dalam kehidupan sosial filosofi ini pun berlaku. Di antara manusia yang kita temui di jalan, ketemu di pasar, di terminal, banyak yang tidak kita kenal. Sering kita terlibat hubungan muamalah dengan orang lain yang tidak kita kenal, seperti dalam jual beli, ngurus surat di kantor, tanya alamat rumah dan lain-lain. Dalam hubungan itu kita tidak ada hubungan emosional dengan orang-orang tersebut. Ketika akad sudah disepakati ya sudah, terus berpisah. Tidak ada perasaan yang mengganjal, tidak enak, maupun sedih tatkala kita selesai dengan urusan-urusan tersebut. Bahkan seringkali hati kita merasa senang, lega dan plong ketika berpisah dengan orang-orang tersebut. Hal ini karena memang kita tidak memiliki hubungan ikatan ”emosional” dengan mereka.
Di sisi yang lain kita memiliki hubungan dengan teman, tetangga, mitra kerja, istri, anak, orang tua, keluarga besar, bahkan dengan Allah, Tuhan sesembahan kita. Masing-masing pihak tersebut memiliki tingkat ikatan yang berbeda-beda dengan kita sesuai dengan tingkat kepentingan dan ketergantungan kita kepadanya. Apabila sesuatu hal mengganggu hubungan kita dengan salah satu pihak tersebut, lalu kita hanya menuruti kemauan hawa nafsu atas nama hak asasi, kebebasan berekspresi dan semacamnya, yang akhirnya kita putus hubungan dengan mereka, pasti akan muncul dampak akibat yang menyakitkan. Akibat ini pun juga akan berbeda tingkat sakit dan penderitaan yang kita rasakan, mulai dari sekedar pekewuh, malu, dikucilkan tetangga, kehilangan teman, kehilangan pekerjaan dan penghasilan, kehilangan istri, terusir dari rumah, hingga sakit penderitaan fisik bahkan penderitaan sampai di akhirat kelak selama-lamanya.
Dalam hukum positif di masyarakat, bahkan dalam agama pun kita diperintahkan untuk selalu menjalin hubungan baik dengan orang lain sesuai dengan tingkat haknya kepada kita. Kepada kedua orang tua, keluarga, tetangga, teman dan sebagainya. Allah Ta’ala berfirman :

Artinya : ” sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (QS. An-Nisaa’ : 36)


Menurut ayat di atas jelas bahwa yang harus disempurnakan nomor satu adalah ikatan kita dengan Allah Ta’ala, karena manusia sangat bergantung kepada-Nya, Allahu Ash-Shomad. Dan jika ikatan ini buruk, atau bahkan rusak karena Allah disekutukan, maka akibat buruk akan menimpa manusia selama-selamanya di akhirat. Kemudian pihak-pihak yang disebutkan selanjutnya dalam ayat di atas adalah sesuai dengan urutan prioritas penunaian hak, sesuai dengan tingkat ikatan kita kepada mereka yang dimulai dari kedua orang tua dan seterusnya.
Sebaliknya kita diperingatkan dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak hubungan kita dengan orang lain, terutama dengan sesama muslim. Dalam sebuah hadits disebutkan :
وعن أنسٍ رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تباغضوا، ولا تحاسدوا، ولا تدابروا، ولا تقاطعوا، وكونوا عباد الله إخواناً، …متفقٌ عليه.
Artinya : Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi Shalallahu ’alaihi wa salam bersabda : janganlah kalian saling marah, dan janganlah saling hasad, dan jangan saling membelakangi (jothakan = jawa), dan jangan saling memutus hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara (karena iman).... HR. Bukhari-Muslim

Nah, karena itu mari kita senantiasa menjaga dan kita perbaiki hubungan kita kepada Allah Ta’ala, kepada orang tua, keluarga, tetangga, sahabat, dan lain-lain agar hidup kita tenang, tenteram, bahagia dan selamat fiidunya wal akhirah. Amiiin

Wallahu a’lam...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar