Rabu, 07 Juli 2010

Beri Peringatan, Jika Bermanfaat

Tidak diragukan lagi bahwa setiap peringatan yang disampaikan dari ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pasti bermanfaat dan mengandung kemaslahatan, baik bagi orang yang diseru maupun mubalighnya sendiri. Akan tetapi sekalipun demikian, seorang mubaligh atau da’i harus memperhatikan keadaan obyek dakwahnya, tingkat akal pikirannya, kecenderungannya dan permasalahannya sehingga dia bisa memilih materi yang tepat, waktu yang tepat serta bahasa dan kata yang tepat. Jika tidak, bisa jadi seruan ataupun peringatan tersebut tidak akan memberi manfaat, bahkan sebaliknya bisa menimbulkan fitnah.
Allah Ta’ala berfirman :

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى
“Maka berilah peringatan, apabila peringatan itu bermanfaat”
(QS. Al-A’laa : 9)

Imam Ibnu Katsier Rahimahullah mengatakan bahwa dari ayat tersebut bisa diambil suatu adab dalam menyebarkan ilmu, yakni janganlah ilmu tersebut diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, dalam arti belum pantas menerimanya. Sebagaimana kata Sayidina Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu : “Tidaklah kamu menyampaikan satu hadits kepada suatu kaum yang tidak dapat ditangkap oleh akal mereka, melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian dari mereka. Sampaikan kepada manusia apa yang bisa mereka pahami. Apakah kamu suka apabila Allah dan Rasul-Nya didustakan ?
Sementara itu Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah menjelaskan bahwa kita diperintah untuk memberi peringatan dengan syari’at Allah Ta’ala dan ayat-ayat-Nya selama peringatan dan nasihat tersebut diterima dan didengarkan sehingga sampai kepada mad’u akan maksud dari seruan peringatan itu.
Maka dalam menyampaikan materi dakwah, seorang da’i harus benar-benar mengetahui medan dakwahnya , tidak bisa dipukul rata antara satu dengan yang lain. Dalam materi aqidah misalnya, jangan langsung kita sampaikan kitab-kitab karangan ulama tentang aqidah yang biasa kita baca kepada setiap orang, karena ada suatu kaum tertentu yang bisa jadi tidak suka dengan pengarang kitab tersebut karena memang belum mengenalnya. Kita bisa sampaikan langsung ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits shahih yang memuat perkara aqidah beserta tafsir dan penjelasannya. Sebagai contoh Surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Muawwidzatain, ayat Kursi dan lain-lain. Insya Allah akan lebih bisa diterima oleh kaum tersebut, karena itu langsung dari Al-Qur’an dan hadits shahih. Dalam masalah fikih akan lebih kompleks lagi permasalahannya, sehingga seorang da’i harus ekstra berhati-hati dalam menyampaikan seruannya. Termasuk dalam perkara ini adalah dalam memilih lafadz khutbatul hajjah pada awal ceramah. Janganlah kita terlalu kaku untuk selalu memakai lafadz tertentu di setiap dakwah kita. Karena masing-masing kaum juga memiliki kebiasaan yang khas dalam masalah ini yang juga ada sunnahnya. Intinya kita berusaha jangan sampai dakwah kita ditolak justru sejak menit-menit pertama.
Seorang da’i juga harus jeli melihat kondisi obyek dakwahnya, apakah seruannya masih efektif atau tidak. Misalnya saat khutbah jum’at, jangan sampai khatib hanya menunduk membaca teks selama khutbah. Bisa jadi jama’ah sudah terlalu capai dan banyak yang tertidur, sehingga yang paling baik adalah justru mengakhiri khutbah tersebut.
Dalam dakwah ada perkara-perkara yang bersifat permanen yang baku dari manhaj Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Tetapi ada juga bagian dari adab-adab yang bersifat tidak permanen yang bisa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi, tetapi masih tetap dalam koridor Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih. Perkara ini mesti dipahami, agar dakwah dan peringatan benar-benar bermanfaat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar