Jumat, 03 April 2009

Mujahadah untuk Ngaji

Al ‘ilmu yu’ta wa laa ya’ti (Ilmu itu didatangi, tidak mendatangi), demikian perkataan dari Imam Malik Rahimahullah. Ini merupakan bagian dari adab terhadap ilmu yang penting. Sehingga seorang yang menginginkan ilmu disebut murid, yang berarti seseorang yang menginginkan (ilmu). Sebutan lainnya yang lebih mantab adalah tholabul ilmi, yang berarti seorang yang menuntut, mencari, bagaimana caranya bias mendapat ilmu. Maka sudah semestinya bagi seorang yang menginginan ilmu dia menjalani tertib ini, agar supaya ilmu/pengetahuan yang didengar, dilihat dan dicatat bisa lebih berkesan dan kokoh pada dirinya.
Tertib inilah yang telah dijalani para pendahulu kita yang shalih (salafush shalih) dalam menuntut ilmu. Bagaimana seorang shahabat, yakni Jabir bin Abdullah r.a. yang membutuhkan waktu 1 bulan perjalanan untuk menemui Abdullah bin Unais demi mendapatkan 1 buah hadits, hanya untuk itu saja. Habis itu beliau pulang. Bahkan seorang ulama yang bernama Al-Khatib Al-Baghdadi telah menulis kitab yang berisi kisah perjalanan para ulama dalam mencari hadits, yakni kitab Rihlahul Ulama lil Hadits.

Padahal kalo kita berpikir, situasi dan kondisi pada zaman dahulu dengan sekarang sangat jauh berbeda, baik dalam hal medan, fasilitas, keamanan, fisik dll. Zaman dahulu medan sangat berat, naik turun gunung, berbatu-batu, padang pasir, panas, hujan, jarak puluhan bahkan ratusan kilometer. Kendaraan yang ada hanya onta, kuda bahkan jalan kaki. Keamanan di perjalanan sangat tidak terjamin, dari binatang buas maupun manusia buas. Mengapa mereka para ulama terdahulu bisa dan mau menempuh semua hal itu ?

Sedangkan kita pada hari ini sangat berbeda, fasilitas banyak dan mudah, kendaraan tersedia ber-AC pula, ada komputer, laptop, berbagai software, multimedia, orang 'alim (ulama) juga banyak, majelis ta'lim dimana-mana dengan berbagai menunya, dan berbagai kemudahan lainnya. Akan tetapi kenapa dengan banyaknya kemudahan dari Allah ini kebanyakan kita dan kaum muslimin justru tidak banyak mengambil manfaat sehingga kaum muslimin menjadi semakin melek dengan agamanya, semakin kuat hasrat untuk mengamalkan dan membelanya. Kenapa ?
Jawabnya adalah kurangnya kesungguhan untuk berkorban, ngrekoso - walaupun cuma sedikit dan sangat jauh jika dibandingkan ulama terdahulu - yang kita kerahkan. Hari ini kita mudah-mudah untuk absen dari datang ngaji, entah dengan alasan capek, sibuk, hujan. Padahal ustadznya juga harus berjalan dari rumahnya, meluangkan waktunya, istirahatnya. Kebanyakan majelis ta'lim/ngaji saat ini tidak dilaksanakan di rumahnya ustadz, sehingga kedua-duanya, baik ustadz maupun murid harus pergi dari rumahnya, meninggalkan keluarganya, menerobos panasnya matahari dan dinginnya malam. Kenapa kita tidak ingat kaidah berilmu yang disampaikan Imam Malik di atas ? Subhanallah.
Memang, kecintaan seseorang akan sesuatu selalu seiring dengan tingkat pengorbanannya. Semakin dia menjalani kepayahan, capek, ngantuk, keluar uang, tinggalkan sementara orang yang dicintai untuk meraih sesuatu, maka dia akan semakin cinta dengannya, semakin bersikap mementing-mentingkan. Dia merasa kecewa jika melewatkannya, tidak bertemu dengannya. Demikian pula halnya dengan kecintaan terhadap ilmu dan majelis ilmu. Kalo orang dikit-dikit ijin, pamit, atau bahkan tidak pamit kepada mu'alimnya, yaa ilmu dan majelis ilmu sebatas samben saja, jika sempat yang datang, jika nggak ya gak masalah. Toh masih ada kesempatan pekan depan, katanya. Padahal umur seseorang hanya Allah yang tahu, dan kesempatan tidak akan berulang.
Semoga Allah beri kekuatan pada kita, agar menjadi orang yang punya kekuatan hati, tekad, kesabaran sehingga mampu menggerakkan badan ini untuk menuntut ilmu, beramal, dan berdakwah. Amiin.

3 komentar:

  1. Saya malu..tersindir krn sering ijin ngaji dg berbagai alasan..Tulisannya inspiratif...Lebih baik dihub dg fenomena pembelajar jmn skrg pd siswa dan mhs..

    BalasHapus
  2. syukron mas....

    BalasHapus
  3. saya minta ijin ngopi gambarnya

    BalasHapus