Jumat, 03 April 2009

Istiqomah Saat Senang dan Susah

Manusia dikaruniai oleh Allah sesuatu yang sangat berharga yang membedakan dirinya dengan makhluk lain, yakni akal pikiran. Dengannya manusia mampu mengembangkan potensi dirinya dalam meningkatkan kualitas kehidupannya. Akan tetapi yang paling berhak untuk menentukan apakah kehidupan seseorang itu berkualitas, bermakna serta bermanfaat adalah Allah SWT. Dalam hal kemampuan manusia untuk menggunakan akal pikirannya tersebut, Allah SWT pun memberi suatu gelar yang amat agung yang kelak akan menempati kemuliaan di akhirat, yakni Ulul Albab.

Ulul Albab, suatu gelar nan agung dari Allah, Zat yang menciptakan dan menguasai alam semesta beserta isinya. Tidak ada suatu gelar pun di dunia ini yang dibikin oleh manusia yang lebih menjamin akan kemuliaan penyandangnya selain Ulul Albab. Sementara banyak dari kalangan kita, baik itu secara individu maupun kelompok yang merasa serta mengklaim sebagai generasi ulul albab. Terutama kita yang di kalangan akademik atau kampus yang merasa bahwa kitalah yang paling cerdas, yang mampu menggunakan akal, yang merasa mampu membuat terobosan-terobosan dalam agama ini. Dengan prestasi-prestasi, IPK tinggi, kegiatan lomba, ide-ide maupun slogan-slogan kita merasa bahwa kitalah ulul albab.
Namun tentu saja Allah-lah yang paling berhak menentukan kriteria-kriteria tersebut. Sebelum kita mengklaim diri kita sebagai Ulul Albab, kita hendaknya bercermin dengan beberapa ayat Allah tentang kriteria ataupun sifat seorang ulul albab dengan prasyarat kita harus yakin dengan Al Qur’an. Bagi yang tidak yakin dengan kebenaran Al-Qur’an, maka dia di luar konteks pembicaraan ini.

Paham akan Kehendak Allah, Susah maupun Senang
Seorang yang mendapat gelar Ulul Albab dari Allah di antaranya adalah orang yang mampu meluruskan setiap amal dan ibadahnya hanya kepada Allah dalam setiap keadaannya, yakni dikarenakan dia khawatir dengan nasibnya di akhirat dan mengharapkan rahmat Allah. Hal ini dia lakukan karena kepahamannya akan ilmu. Firman Allah dalam Surat Az-Zumar (39) ayat 9 :
“Ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri karena dia takut dengan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah : “Adakah sama orang-orang yang mengeahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah (ulul albab) yang dapat mengambil pelajaran.”

Sementara itu, sebagian orang ada juga yang beribadah, berdoa dengan khusyuk, merendah kepada Allah karena dia sedang mengalami kesulitan ataupun sangat mengharapkan sesuatu. Namun ketika Allah memenuhi permohonannya, dia menjadi lupa bahwa dulu dia meminta-minta kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat sebelumnya pada Surat Az-Zumar :
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; Kemudian Apabila Allah memberikan ni’mat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang dia pernah berdoa sebelum itu, dan dia mengada-adakan bagi Allah bandingan-bandingan untuk menyesatkan dari jalan-Nya. Katakanlah :”Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sebentar saja; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.”(QS. Az-Zumar (39): 8)

Dari kedua ayat di atas terlihat bahwa kedua macam orang tersebut sama-sama beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, namun yang membedakan adalah kepahaman akan tujuan dari penghambaan diri kepada Allah SWT.
Golongan pertama merasa butuh kepada Allah ketika dia mengalami kesulitan maupun keinginan-keinginan. Ketika Allah memberikan ni’mat-Nya, dia lupa. Dalam suasana yang dia sukai, dia melupakan doa dan permohonan yang sungguh-sungguh itu. Sebagaimana firman-Nya :”Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling.” (QS. Al-Isro’ (17): 67).
Bahkan dia membuat bandingan-bandingan (sekutu) bagi Allah, bahwa berkat dirinyalah dia bisa memperoleh apa yang dia inginkan.
Saudaraku, betapa banyak dari kita yang merasa bahwa keberhasilan kita dalam studi, mendapat sekolah favorit, lulus menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan, gaji tinggi, dan sebagainya adalah berkat jerih payah kita, kecerdasan kita, kiat-kiat kita semata yang semuanya itu merupakan bandingan (sekutu) bagi Allah. Sementara kita menjadi lupa bahwa Allah yang memberi itu semua. Semuanya itu pada akhirnya membuat kita merasa takabbur dengan diri kita. Padahal dulu ketika kita masih susah, belum dapat sekolah, belum lulus-lulus, masih nganggur kita rajin berdoa dan berharap kepada Allah. Saudaraku, inikah yang dinamakan generasi Ulul Albab? Subhanallah, ketahuilah bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah dengan kesombongannya, mereka tidak lama meni’mati kekufurannya, seperti firman-Nya :”Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. Luqman : 24).
Lantas, apakah sama antara orang-orang yang membuat bagi Allah bandingan serta saingan dengan orang-orang yang taat, tunduk kepada Allah lantaran khawatir akan nasibnya di akhirat dan mengarap rahmat-Nya? Tentu saja tidak sama. Orang-orang yang bisa menyikapi penderitaan dan kesenangan yang dialami, yakni dikembalikan kepada Allah, itulah yang bisa mengambil pelajaran.

2 komentar:

  1. Two thumbs up for your writings..ternyata punya bakat nulis juga kau...Untuk tulisan ini, aku malu dg diri sendiri nih...masih jauh dari julukan Ulul Albab...Thanks siraman rohaninya..

    BalasHapus
  2. Ya, memang hidup tidak selalu lurus, kadang naik turun, ada belokan, ada yang ngawe-awe. Mata juga lihat atau kebetulan/terpaksa lihat. Telinga juga begitu. Tetapi gimana caranya hati dan perhatian tetep lurus fokus pada kehendak Allah, waspada dari larangan-Nya. Kita berusaha bersama utk itu, saling tolong.

    BalasHapus