Rabu, 10 Maret 2010

Mabuk fii Sabilillah

Sabtu sore, 6 Maret 2010 kami diundang oleh teman-teman di Manyaran Wonogiri dalam acara Mudzakarah Taklim dan Dakwah (KARIMAH), kegiatan yang kami sepakati dilaksanakan setiap dua bulan sekali. Ini sudah yang kedua kalinya. Peserta yang diundang adalah teman-teman ngaji dari beberapa tempat, seperti Jogja, Bantul, Kulonprogo dan Klaten. Maksud dan tujuan dari acara itu adalah untuk lebih saling mengenal di antara kami dengan saling berkunjung ke daerah asalnya dan untuk lebih menjalin kesatuan hati. Selain itu kami bermudzakarah, berdiskusi berbagi pengalaman tentang taklim dan dakwah Islam.
Dari Jogja, peserta yang mendaftar pingin berangkat sebanyak 14 orang, tetapi yang akhirnya berangkat 9 orang. Transportasi disediakan oleh Pak Wahyu berupa mobil Ranger Polisi Hutan, lengkap dengan stiker besar POLISI HUTAN dan sirinenya. Ini mobil truck ranger pick up yang dilengkapi dengan tenda di belakang, wah sangar bener. Kami yang di belakang duduk menyamping mirip tahanan pencuri kayu yang ketangkep operasi POLHUT. Mobil pun berjalan dengan mantabnya. Selepas Piyungan, jalan mulai naik turun dan berkelok-kelok. Saya kebagian duduk di depan karena sebagai penunjuk jalan. Kira-kira separo perjalanan, saya mulai khawatir dengan kondisi teman-teman di belakang, karena jalan naik turun, duduk menyamping, ditambah suspensi mobil yang keras. Saya pun mencoba telpon Om Sigit, gak diangkat-angkat, ganti telpon Pak Mardi, juga gak diangkat, telpon Mas Hangga malah gak nyambung, piye iki? Ya sudah lah, pikir saya jika gak ada keluhan berarti oke.
Mobil terus melaju, tapi sampai di daerah Ngawen, ada yang ketok-ketok mobil dari belakang, minta berhenti. Mobil pun berhenti, ternyata jatuh korban satu, mas Hangga mabok, muntah-muntah. Ya sudah, akhirnya pindah depan berdua sama saya plus sopir Pak Wahyu. Mobil melaju lagi sampai kira-kira setelah melewati Semin ada yang ketok-ketok lagi, dua korban lagi jatuh, Pak Mardi dan Pak Indro. Pak Indro yang ngeri, sampai hoak hoek sambil nyonthong plastik kresek kayak perempuan lagi hamil muda. Hoak-hoek berkali-kali tapi gak ada yang keluar tuh muntahan. Sementara Pak Mardi berhasil muntah dengan sukses trus senyum-senyum, sudah lega katanya. Sisa perjalanan yang tinggal sekitar 3 km akhirnya menyingkirkan saya ke gerbong belakang karena kursi depan diisi oleh Pak Indro dan Hangga. Alhamdulillah sampailah di Masjid Al Ikhlas, Kepuh, Manyaran, Wonogiri. Sesampai di masjid langsung pada nggeblak, nglekar. Menjelang masuk kampung kami berpapasan dengan sbuah truk yang penuh muatan kayu tebangan. Saat itu mereka terlihat sedikit panik, mungkin kami dikira rombongan polisi hutan yang tengah berpatroli. Masak polisi patroli kok pada mabuk perjalanan, gimana mau tangkap itu pencuri?
Waktu pulang strategi diubah. Yang mendapat jatah duduk di depan adalah para korban saat berangkat dengan bergiliran, antara Hangga, Pak Indro dan Pak Mardi. Perjanjiannya apabila terjadi gejala mabuk bagi yang di belakang, harus segera ketok body mobil di depan tanda pergantian pemain yang duduk di depan. Giliran pertama dipegang oleh Hangga. Di belakang, Pak Mardi dan Pak Indro duduk konsentrasi sambil terus menghadap ke depan untuk meminimalisir gejala mabuk. Baru seperempat perjalanan, Pak Indro ketok-ketok, ganti pemain. Herannya di saat teman-temannya berjuang melawan goncangan kepala dan perut, bisa-bisanya Pak Pardi (bukan Mardi) tertidur, demikian juga Pak Jarmanto, sampai hampir saja terjengkang karena tidak bersandar saat tertidur. Akhirnya sebagai amir rombongan yang ditunjuk, saya pun memutuskan untuk istirahat sejenak di kawasan tanaman kayu putih, tempat yang cukup tinggi dan teduh. Udara segar cukup mengobati rasa pegal dan mual, sambil minum air mineral dan makan pisang bawaan dari Manyaran. Akhirnya perjalanan dilanjutkan sampai Jogja dengan selamat, Alhamdulillah.
Walaupun terasa begitu berat di perjalanan, tapi kami semua merasa senang, termasuk bagi yang mabuk di perjalanan. Kami sadari bahwa perjalanan ini insya Allah termasuk sabilillah, karena kami hendak ngaji, membicarakan agama Allah sekaligus ziaratul ikhwah di Manyaran. Kami sempat membayangkan bahwa nanti kalau sabilillah dalam perang, mungkin kendaraan yang digunakan lebih berat dari yang ini, dan tidak boleh mabuk. Lha bagaimana mungkin mau nembak musuh kok mabuk, pusing-pusing dan mual? Gak jadi perang deh. Kami hanya berharap kepada Allah Ta’ala, semoga jerih payah kami ini diberi pahala yang berlipat di sisi-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam : Fa inna idzamal jazaa’ ma’a idzamil bala’ (sesungguhnya besarnya balasan/pahala tergantung dari besarnya cobaan). Semoga. Amiin.


3 komentar:

  1. Subhanaallah...ceritanya bnr2 mengharukan dan heroik...Alur berceritanya jg runtut dan hidup..seolah2 yg membaca ikut mengalaminya...waah..bisa jd novelis nich..ntar aku jd editornya dech...

    BalasHapus
  2. Nembak musuh dalam keadaan mabuk,tembak saja pake muntahannya. muantabh dan dijamin klenger tuh musuh. wkwkwk

    BalasHapus
  3. Ditunggu tulisannya:

    Ngantuk fi sabilillah

    BalasHapus